Nyanyian Hati

Orkestra dan Nyanyian dari Hati

Seperti biasa, selepas kerja saya dengan setia menanti bus AC yang biasa saya tumpangi setiap hari. Sengaja tak berlama-lama di kantor, berharap naik bus yang tak terlalu penuh bila belum jam setengah enam sore. Tak berapa lama menunggu, dari kejauhan saya melihat bus AC tersebut. Tanpa pikir panjang lagi, saya mengejarnya.

Beruntung sekali, ternyata bus itu masih setengah kosong dari penumpang. Saya pun segera duduk dan bersiap untuk tidur. Perjalanan masih jauh.

Beberapa menit, sebelum saya benar-benar tertidur, saya mendengar sayup-sayup suara pengamen di dalam bus. Dalam hati saya bergumam, biarkan saja. Siapa tahu pengamen ini sama seperti pengamen yang beberapa hari lalu menyegarkan telinga-telinga penumpang yang kelelahan di bus, sebab suaranya lumayan enak didengar. Saya pun semakin erat memegang tas di pangkuan dan membetulkan posisi duduk supaya nyaman.

Sebentar kemudian, beberapa orang yang berdiri di dekat bangku saya mulai berbisik-bisik. Rupanya mereka terganggu dengan pengamen itu. Saya tak jadi tertidur dan mulai memasang telinga baik-baik, mencoba mendengarkan. Memang aneh. Entah lagu apa yang dinyanyikannya. Tak ada yang salah dengan alunan gitar yang ia mainkan. Suaranya pun tidak sumbang.

Yang aneh adalah lagu yang ia nyanyikan. Entah bahasa apa. Kadang bahasa Inggris, kadang bahasa Indonesia, sedikit campuran bahasa Arab, entah apa artinya. Pengucapannya pun tidak jelas. Malah, awalnya saya mengira ia menyanyikan lagu dengan bahasa Jepang. Hebat sekali, begitu pikir saya.

Beberapa menit berlalu, dan setiap orang benar-benar terusik oleh nyanyiannya. Kondektur bus yang menagih ongkos kepada saya pun bergumam, "Nyanyi apa sih!" Juga beberapa penumpang yang saling berbisik dan bertanya-tanya, sebab si pengamen kerap mengulang sebuah kata -yang entah berasal dari bahasa apa- dalam lagunya.

Lain lagi dengan pengamen bus patas ac yang saya tumpangi kemarin. Kali ini seorang perempuan, dengan dandanan lumayan nyentrik. Ia memegangi gitar lengkap dengan sarungnya. Wah, penyanyi profesional nih. Begitu pikir saya. Ketika ia mulai menyanyi, saya merasa senang. Sebab ia menyanyikan bait nasyid yang dipopulerkan oleh Raihan, grup nasyid dari Malaysia. Begitu pula dengan lagu berikutnya, ia menyanyikan salawat.

Tetapi lama-lama saya dengar, suara gitar yang dipetiknya amat sumbang, dan telinga saya sampai sakit dibuatnya. Makin lama ia menyanyi, suara gitarnya makin kencang, dan rasanya suaranya sampai mendengung dan membuat kepala saya sakit. Namun tampaknya si pengamen tak menyadari bahwa nyanyiannya -terutama suara petikan gitarnya- begitu mengganggu para penumpang. Ibu-ibu yang duduk di seberang saya berkali-kali menoleh ke arah pengamen itu sambil bersungut-sungut. Tapi si pengamen tetap bernyanyi dengan tenang, mengulang tiap lagu yang dinyanyikan sampai dua kali, hingga setengah perjalanan. Ketika ia selesai, rasanya saya bisa mendengar hampir semua penumpang menarik napas lega.

Setelah sampai di rumah, saya berpikir bahwa ketika saya atau penumpang lain yang berada di dalam bus merasa terganggu dengan keberadaan mereka, para pengamen itu, mungkin pada saat yang bersamaan, sedang berupaya menghapus rasa malu dan menumbuhkan kepercayaan diri mereka untuk berhadapan dengan kami semua, demi receh-receh yang sekuat tenaga mereka kumpulkan. Walau tak memiliki suara merdu, pun tak punya modal kemahiran bermain gitar, itu semua tak jadi soal. Perih yang terasa di perut mereka, seolah memainkan musik sumbang yang terpaksa mereka dengar setiap waktu. Tapi bagi kami, para penumpang bus, mungkin nyaris tak ada yang peduli dengan nyanyian yang keluar dari mulut mereka, apalagi untuk ikut merasakan perih dan mendengarkan "orkestra" dari perut mereka.

Saya ingat, bahwa saya seringkali merasa terganggu apabila kebetulan pengamen yang berada di dalam bus yang saya tumpangi menyanyi dengan suara yang tak enak didengar. Saya merasa terganggu, hingga "membalasnya" dengan tidak mengeluarkan serupiah pun. Atau terkadang mengangkat tangan sambil tak sengaja bermuka masam. Dan bahkan banyak juga penumpang lain yang berpura-pura tidur ketika si pengamen menghampiri, atau bahkan memalingkan muka. Dalam satu hari, wajah-wajah masam, kadang mungkin omelan kecil, atau sikap kasar dari penumpang bus yang mereka dapatkan, tak sebanding dengan lembar-lembar atau kepingan rupiah yang berhasil mereka kumpulkan. Dan isi dalam perut mereka masih juga bermain "orkestra".

Dengan mengingat bagian kecil dari kehidupan kota itu, saya ingin belajar untuk lebih menghargai. Bahwa tetes keringat dan jerih payah yang mereka lakukan demi mendapatkan uang, berarti banyak dibanding mereka yang meraup harta tanpa cara yang halal, menikmatinya dengan merampas hak dan milik orang lain.

Saya ingin belajar untuk lebih memahami, bahwa lagu-lagu yang para pengamen itu nyanyikan, entah merdu atau sumbang terdengar, adalah bukti usaha keras mereka untuk tidak menadahkan tangan atau meminta-minta. Walau rupiah yang terkumpul tak cukup untuk mengurangi musik orkestra dari perut yang kelaparan.

Pengamen-pengamen itu mengajari saya, untuk selalu bisa mengerti bahwa kerja keras adalah proses yang indah bila kita menikmati dan menjalaninya dengan hati. Bahwa rupiah yang didapat dari hasil keringat sendiri, adalah kebahagiaan dan kepuasan dalam menjalani kesabaran mencari secuil rezeki. Terkadang, bila kita kekurangan, apa yang di tangan akan terasa lebih dihargai dan berarti. Seringkali, walau kita memiliki lebih, apa yang ada di tangan orang lain akan terlihat menggiurkan dan kita pun ingin memiliki.

Menanggapi pengamen-pengamen bus kota dengan seulas senyum, uluran tangan menyampaikan receh-receh rezeki untuk mereka, atau anggukan sopan bila tak berkenan, mungkin akan dapat meringankan hari yang akan mereka lewati. Setidaknya kita bisa memulai untuk lebih mengerti, dan tergerak untuk berbagi.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Nyanyian Hati"

Post a Comment