Mending Muji Ketimbang Ngegerutu

Mungkin hati sedikit mangkel ketika mendapatkan isteri telah tertidur pulas waktu kita pulang bekerja malam hari. Padahal bayangan kita, begitu kita menjejakkan kaki di depan pintu, isteri menyambut kita dengan dandanan rapi dan wajah sumringah. Lalu dengan sigapnya dia menyediakan kita air hangat dan hidangan makan malam. Kepenatan pun hilang. Tapi bayangan indah itu buyar total, ketika menghadapi kenyataan. Isteri tak menyambut ramah dan mesra sebagaimana yang kita harapkan.

Perlukah kita menyalahkah isteri, karena kita anggap dia tidak perhatian terhadap kita? Perlukah kita menggerutui atau memarahinya lantaran kelalaiannya tak menyambut suami yang lelah sehabis pulang mencari nafkah? Jawabannya tentu tergantung dari sejauh mana objektifitas penilaian kita terhadap dirinya. 

Kalau kita memvonisnya sebagai isteri yang tidak kompeten, seolah tak ada sisi kebaikan yang ada pada dirinya, mungkin kita akan spontan menegurnya dengan keras. Atau mungkin kita akan berikan ultimatum, bila hal ini terulang lagi kita akan jatuhkan sanksi berat kepadanya. Ekses dari penilaian kita yang terlalu prematur dan cenderung tidak fair itu, jelas sangat mengancam keutuhan bangunan rumah tangga kita. Bukan hanya celah-celah cekcok rumah tangga akan semakin menganga lebar. Tapi juga membahayakan pertumbuhan dan perkembangan jiwa anak-anak kita. Sebab atmosfer di dalam rumah tangga kita dapat dipastikan akan selalu panas, bergelegak, bak api dalam sekam.

Namun sebaliknya, jika kita menyikapinya dengan arif dan kepala dingin, tentu bukan bahasa emosi yang akan muncul. Kebaikan-kebaikan isteri kita pasti lebih banyak ketimbang kekurangannya. Dan hanya lantaran dia terlelap tak menyambut kita saat kita pulang bekerja, pasti tidak akan kita jadikan alasan untuk menghapus kebaikan-kebaikannya yang banyak. Mungkin, justru kita akan berbalik iba pada isteri, tatkala kita pulang bekerja tapi isteri kita telah tertidur pulas. Sebab ketika kita berpikir positif, kita akan menilai tidur isteri kita saat itu dengan positif. Bahwa lantaran lelahnya isteri kita menggeluti tumpukan pekerjaan rumah tangga setiap hari, wajar jika ia tertidur pulas pada malam harinya. Itu mungkin penilaian positif kita. 

Jika kita memilih opsi kedua (positive thinking) terkait dengan kasus di atas, bisa dipastikan simpul ikatan rumah-tangga kita akan terpelihara dan semakin kokoh. Akan terbangun saling pengertian. Hirarki keluarga yang tumbuh dalam rumah tangga kita bukan hirarki atasan dengan bawahan. Tapi hirarki kesetaraan kepemimpinan, yakni sama-sama saling memahami, sama-sama mau belajar dari kekurangan masing-masing, dan sama-sama saling menutupi kekurangan masing-masing. Selanjutnya tanggung jawab rumah tangga akan sama-sama dipikul dengan segala kelebihan dan kekurangan yang ada pada diri masing-masing pasangan suami-isteri (pasutri). 

Bahkan seorang suami/isteri yang baik, akan selalu mengedepankan kebaikan-kebaikan pasangannya, ketimbang keburukannya. Memperlihatkan rasa puas dan pujiannya ketimbang mengumbar gerutuan serta mengungkit-ungkit kekurangan pasangannya. Entah, mungkin lantaran kita sudah terlalu lama hidup dalam kultur “mudah menyalahkan” ketimbang “memuji kebaikan” orang lain. Sehingga boleh jadi kita begitu hafal dan lancar dengan bahasa gerutu, makian dan ungkapan yang melecehkan orang lain. Sebaliknya, kita begitu pelit dan berat hati mengungkapkan kata-kata pujian terhadap orang lain. Termasuk terhadap pasangan kita. 

Buanglah sifat egois itu, karena ia sangat tidak menguntungkan buat siapapun. Bahwa egois itu temannya sombong, dan sifat sombong itu adalah sifat setan. Setan akan selalu menghasung manusia berbuat mungkar, mengungkit-ungkit keburukan/kelemahan orang lain seraya melupakan jasa dan kebaikannya, serta mengobarkan permusuhan. Karena itu sulit diharapkan munculnya keluarga sakinah (tenang) ketika salah satu anggota pasutri tetap bersikukuh pada egonya. Tetap mempertahankan gengsinya sebagai pemimpin rumah-tangga yang hanya melihat kesalahan orang lain, seraya menutup masukan/ralat dari orang lain atas kekurangan-kekurangannya. 

Padahal dengan kita mau memaafkan kekurangan pasangan kita serta lebih sering memujinya, akan muncul banyak kebaikan, antara lain :

1. Menumbuhkan serta menguatkan rasa cinta dan kasih sayang antara pasutri. Selain itu, sikap maaf dan pujian akan memadamkan rasa benci dan dendam di antara masing-masing pasangan.

2. Menyelamatkan pasutri dari rasa minder dan gelisah lantaran sering disalahkan, dicemo’oh, atau dilecehkan kompetensinya oleh pasangannya. Seorang isteri misalnya, yang sering disepelekan apa-apa yang telah dikorbankannya untuk keluarga, tentu bukan hanya akan merasa tersudutkan posisinya, tapi juga merasa tak percaya diri terhadap kemampuannya. 

3. Memberikan semangat dan kekuatan pada pasangan kita dalam menghadapi segala tugas-tugas keluarga yang berat sekalipun, serta merasa ridho menghadapinya. 

4. Akan membuat pasangan kita lebih tenang, tekun dan semangat dalam membesarkan, merawat, serta mendidik anak-anak kita. 

5. Berupaya secara terus menerus dalam meningkatkan kualitas pelayanannya pada pasangannya. 

Semoga kita tidak termasuk suami/isteri yang senang mendiskriditkan pasangan kita, serta pelit untuk memberikan pujian kepadanya. Percayalah, pujian dan maaf itu jauh lebih indah dari gerutuan. Wallahu a’lamu bish showwaab.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Mending Muji Ketimbang Ngegerutu"

Post a Comment