Kisah Perang ar-Raji’

Perang ar-Raji’ Pada Tahun Ketiga Hijriyah 


Setelah terjadinya perang Uhud, datanglah delegasi dari Adhal dan al-Qarah kepada Rasulullah SAW. Mereka berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya di kalangan kami terdapat orang-orang yang telah masuk Islam. Karena itu kirimkanlah bersama kami beberapa orang dari sahabat-sahabatmu untuk mengajarkan perkara-perkara agama, membacakan Al-Qur’an, dan mengajarkan syari’at Islam kepada kami.” Kemudian Rasulullah mengirimkan enam orang sahabat bersama delegasi itu, yaitu Martsad bin Abu Martsad, Khalid bin al-Bukair, ‘Ashim bin Tsabit, Khubaib bin Adi, Zaid bin ad-Datsinah, dan Abdullah bin Thariq. 

Rasulullah menunjuk Martsad bin Abi Martsad sebagai pemimpin rombongan. Kemudian keenam orang sahabat itu berangkat bersama delegasi Adhal dan al-Qarah. Namun ketika mereka tiba di ar Raji’, sebuah mata air milik suku Hudzail dari arah Hijaz di depan al-Had’ah (Tempat antara Asfan dan Makkah), tiba-tiba delegasi Adhal dan al-Qarah mengkhianati para sahabat nabi dan berteriak meminta bantuan kepada orang-orang Hudzail. Tidak ada yang ditakutkan keenam orang sahabat itu dalam perjalanan mereka kecuali orang-orang yang mengepung mereka dengan pedang di tangan. 

Oleh karena itu mereka mengambil pedang dan memberikan perlawanan. Delegesi Adhal dan al-Qarah itu berkata; “Demi Allah, kami tidak ingin membunuh kalian. Kami hanya ingin mendapatkan sesuatu dari orang-orang Quraisy dengan menyerahkan kalian. Kalian berhak atas janji Allah, bahwa kami tidak akan membunuh kalian.” 

Martsad bin Abi Martsad, Khalid bin al-Bukair, dan Ashim bin Tsabit berkata: “Demi Allah, kami tidak menerima janji dan akad dari orang musyrik selama-lamanya.” Setelah itu ‘Ashim bin Tsabit melantunkan syair: 

“Apa kekuranganku, padahal aku orang kuat dan pelempar panah 
Dan di busur panah terdapat anak panah yang kokoh 
Kematian itu pasti terjadi dan kehidupan itu akan hilang 
Apa saja yang ditaqdirkan Allah pasti terjadi atas seseorang 
Dan semua orang akan kembali kepadaNya.” 

Kemudian ia bertempur melawan musuh hingga terbunuh bersama kedua orang sahabatnya. Ketika ‘Ashim bin Tsabit terbunuh, orang-orang Hudzail ingin mengambil kepalanya untuk dijual kepada Sulafah binti Sa’ad bin Syahid, yang pernah bernadzar setelah kematian dua orang anaknya, bahwa jika ia berkesempatan mendapat kepala ‘Ashim bin Tsabit, niscaya ia akan menyiramnya dengan khamr. Namun keinginan mereka itu dihalang-halangi oleh seekor kumbang besar, hingga mereka tidak mampu mendekati kepala ‘Ashim bin Tsabit. Mereka berkata: “Biarkan kumbang itu hingga sore hari. Bila ia telah pergi, baru kita ambil mayatnya.” Namun setelah itu Allah mengirim sekumpulan lebah yang kemudian membawa pergi jenazahnya. Sebelumnya ‘Ashim bin Tsabit pernah bersumpah kepada Allah bahwa ia tidak sudi disentuh oleh orang musyrik dan tidak pula menyentuh mereka karena mereka adalah najis. Umar bin Khatthab RA berkata: “Allah melindungi hamba yang ber-iman. ‘Ashim pernah bernadzar agar tidak disentuh dan tidak pula me-nyentuh orang musyrik sepanjang hidupnya. Kemudian Allah melin-dunginya setelah ia wafat sebagaimana Dia melindunginya sepanjang hidupnya.” 

Adapun Zaid bin ad-Datsinah, Khubaib bin Adi, dan Abdullah bin Thariq, mereka tidak bersikap tegas dan memilih hidup. Mereka menye-rah dan menjadi tawanan orang-orang Hudzail. Setelah itu orang-orang Hudzail membawa mereka ke Makkah untuk dijual. Ketika tiba di Dahran, Abdullah bin Thariq melepaskan diri dari ikatan dan mengambil pedang. Orang-orang Hudzail menghindar lalu melemparinya dengan batu hingga tewas. Hingga kini makam Abdullah bin Thariq berada di sana. Sedangkan Khubaib bin Adi dan Zaid bin ad-Datsinah, keduanya tetap dibawa ke Makkah. Khubaib bin Adi dibeli oleh Hujair bin Abi Ihab untuk Utbah bin al-Harits bin Amir, sebagai pembalasan atas ke-matian ayahnya. 

Zaid bin ad-Datsinah dibeli oleh Shafwan bin Umaiyyah untuk di-bunuh sebagai pembalasan atas kematian ayahnya, Umaiyyah bin Khalaf. Shafwan bin Umaiyyah menyuruh budaknya bernama Nasthas, bersama orang-orang Quraisy untuk membawa Zaid bin ad-Datsinah ke at-Tan’im (nama sebuah tempat yang terletak antara Makkah dan Saraf, kira-kira dua farsakh dari Makkah). Mereka membawanya keluar dari tanah Haram Makkah untuk dibunuh. Beberapa orang kaum Quraisy, di antaranya Abu Sofyan bin Harb berkumpul. 

Ketika mendekat untuk membunuhnya Abu Sofyan bin Harb berkata: “Aku bersumpah demi Allah hai Zaid, apakah engkau senang jika Muhammad menggantikan tempatmu sekarang ini untuk kami siksa sedang engkau pulang ke rumah?” Zaid bin ad-Datsinah menjawab: “Demi Allah aku tidak ingin Muhammad berada di tempatnya kemudian tertusuk duri sementara aku duduk santai di rumahku.” Abu Sofyan bin Harb berkata: “Aku tidak pernah menjumpai seseorang men-cintai orang lain seperti kecintaan sahabat-sahabat Muhammad kepada-nya.” Setelah itu Zaid bin ad-Datsinah dibunuh oleh Nasthas. 

Diriwayatkan dari Muawiyah, bekas budak wanita Hujeir bin Abi Ihaab yang telah masuk Islam, ia berkata: “Khubaib bin Adi ditahan di rumahku. Pada suatu hari aku mengintipnya dan aku lihat ia memegang setandan anggur bentuknya seperti kepala orang dan memakannya. Pada-hal sepengetahuanku di sini tidak ada anggur yang bisa dimakan.” 

Ketika hendak menghadapi detik-detik kematian ia berkata kepada-ku: “Beri aku sepotong besi agar aku dapat membersihkan diri dengannya untuk kematianku.” Kemudian aku memberi sebilah pisau kepada salah seorang anak muda di kampung tersebut dan berkata kepadanya: “Berilah pisau ini kepada lelaki yang berada dalam rumah itu.” 

Muawiyah melanjutkan: “Demi Allah anak muda itu pergi menemui Khubaib seketika itu juga dengan membawa pisau tersebut. Aku berkata dalam hati: “Apa yang telah kulakukan ini!? Demi Allah orang itu bisa membalas dendam dengan membunuh anak muda itu. Jadi, nya-wa satu orang dibalas dengan nyawa satu orang.” 

Ketika anak muda itu menyerahkan pisau kepada Khubaib bin Adi maka Khubaib menerimanya seraya berkata: “Aku bersumpah kepadamu bahwa ibumu tidak takut aku berkhianat ketika ia menyuruhmu kemari dengan membawa pisau ini! Kemudian ia pun membiarkan anak muda itu pergi. Orang-orang Quraisy membawa Khubaib bin Adi keluar Makkah. Ketika tiba di at-Tan’im dan mereka bermaksud membunuhnya, Khu-baib berkata: “Apakah kalian mengizinkan aku mengerjakan shalat dua rakaat?” Mereka menjawab: “Ya, boleh.” Kemudian Khubaib mengerjakan shalat dua rakaat dengan baik dan sempurna. Setelah itu Khubaib menemui mereka dan berkata: “Demi Allah, seandainya kalian tidak akan menduga aku takut mati, niscaya aku akan memperpanjang shalatku.” 

Khubaib adalah orang pertama yang mensunnahkan shalat dua rakaat bagi kaum muslimin ketika hendak dibunuh. Kemudian orang-orang Quraisy mengangkat Khubaib bin Adi ke atas kayu. Ketika mereka telah mengikatnya, ia berkata: “Ya Allah, sungguh aku telah menyampaikan risalah nabiMu, maka sampaikan kepadanya besok pagi apa yang telah mereka perbuat terhadap diriku. Ya Allah, hitunglah jumlah mereka, bunuh mereka secara terpisah, dan jangan sisakan satu orang pun dari mereka.” Setelah itu mereka membunuh Khubaib bin Adi. Muawiyah bin Abi Sofyan berkata: “Aku menghadiri pembunuhan Khubaib bin Adi bersama Abu Sofyan. Sungguh aku jatuh ke tanah karena takut mende-ngar doa Khubaib bin Adi. Ketika itu orang-orang berkata: “Jika sese-orang didoakan kejelekan, kemudian ia tidur miring, niscaya doa itu hilang darinya.” 

Diriwayatkan bahwa Umar bin Khatthab mengangkat Sa’id bin Amir bin Hidzyam al-Jumahi menjadi gubernur di sebagian wilayah Syam, dan ia pernah tidak sadarkan diri di hadapan rakyatnya. Kejadian tersebut dilaporkan kepada Umar bin Khatthab dan dikatakan kepadanya: “Sungguh Sa’id bin Amir tidak sadarkan diri.” Kemudian Umar bin Khatthab bertanya kepadanya: “Hai Sa’id, apa yang terjadi denganmu?” Sa’id bin Amir menjawab: “Aku tidak apa-apa, wahai amirul mukminin. Namun aku termasuk orang yang menghadiri pembunuhan Khubaib bin Adi dan mendengar doanya. Demi Allah, tidaklah hal itu terlintas dalam benakku dan aku berada di suatu ruang, melainkan aku pasti tidak sadarkan diri. Jawaban Sa’id bin Amir itu semakin menambah kebaikan Khubaib bin Adi di hati Umar bin Khaththab. 

Ibnu Abbas berkata mengatakan bahwa ketika para utusan ke ar-Raji’ yang di dalamnya terdapat Martsad dan Ashim mendapat musibah, orang-orang munafik berkata: “Duhai celakanya orang-orang yang terbu-nuh dengan cara seperti itu. Mereka tidak berdiam di rumah bersama keluarga dan tidak pula menunaikan risalah sahabat mereka (Rasulullah).” Kemudian Allah SAW menurunkan ayat tentang ucapan orang-orang munafik tersebut dan kebaikan yang diterima para sahabat di balik musibah yang mereka alami. Allah berfirman: 

“Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehi-dupan dunia menarik hatimu.” (al-Baqarah: 204) 

Maksudnya adalah orang-orang yang menampakkan ke-Islaman dengan lisannya. Lalu Allah Ta’ala berfirman: “Dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya.” (al-Baqarah: 204) 

Maksudnya, padahal dia sendiri menentang apa yang diucapkan lisannya. Kemudian Allah Ta’ala berfirman: 
“Padahal ia adalah penantang yang paling keras.” (al-Baqarah: 204) 

Maksudnya, ia selalu mendebat jika berbicara denganmu. 
“Dan apabila ia berpaling (dari mukamu).” (al-Baqarah: 205) 
Maksudnya, keluar darimu. 

“Ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanaman-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan.” (al-Baqarah: 205) 
Maksudnya, Allah Ta’ala tidak menyukai dan meridhai amal perbuatan-nya. 

“Dan apabila dikatakan kepadanya: ‘Bertakwalah kepada Allah’, bangkitlah kesombongannya yang menyebabkannya berbuat dosa. Maka cukuplah (balasannya) naar Jahannam. Dan sungguh naar Jahannam itu tempat tinggal yang seburuk-buruknya. Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hambaNya.” (al-Baqarah: 206-:207) 
Maksudnya, mereka telah menjual nyawa mereka kepada Allah dan berjihad di jalanNya hingga mereka terbunuh. Mereka yang dimaksud di sini adalah utusan ke ar Raji’. 

Di antara syair yang diucapkan Khubaib bin Adi ketika mendengar bahwa orang-orang Quraisy bersepakat untuk menyalib dirinya, adalah: 

“Orang-orang dari segenap Kabilah telah berkumpul disekitarku 
Mereka semua menunjukkan permusuhan kepadaku 
Mereka menekanku 
Sementara aku terbelenggu dalam ikatan 
Mereka mengumpulkan anak-anak dan istri-istri mereka 
Dan aku diikat di batang kurma yang panjang dan kokoh 
Hanya kepada Allah sajalah 
aku mengadukan keterasingan dan kesedihanku 
serta kelaliman tentara Ahzab saat aku menemui ajalku 
Wahai Allah pemilik Arsy, 
berilah daku kesabaran menanggung siksa 
yang mereka tujukan kepadaku 
mereka telah memotong-motong kulitku 
dan telah pupus harapanku 
Semua itu demi Allah, jika Dia berkehendak 
Niscaya Dia akan memberkahi cabikan daging yang berserak 
Mereka memberiku pilihan antara kekufuran dan kematian 
Namun pandangan mataku tidak bergeming dari kematian 
Sesekali aku tidak akan dapat menghindar dari kematian 
Bila tiba ajalnya aku pasti mati 
Namun aku lebih memilih menghindar dari jilatan api Neraka 
Demi Allah, aku tidak takut bagaimanapun bentuk kematianku 
dalam membela agama Allah 
asalkan aku mati dalam keadaan muslim 
Aku tak akan menunjukkan kekusyu’an dan kegoncangan pada musuh 
Sesungguhnya kepada Allah jualah aku akan kembali.” 

Hassan bin Tsabit RA., mengucapkan syairnya menangisi Khubaib bin Adi: 

“Kenapa kedua matamu tidak mengucurkan air mata 
Ke dada seperti mutiara yang bergerak 
Menangisi Khubaib, 
seorang pemuda gagah berani seperti yang mereka tahu 
tiada kegagalan dan tiada kegoncangan saat menghadapi ajal 
Khubaib telah pergi, semoga Allah membalasnya dengan kebaikan dan jannah yang kekal abadi bersama bidadari 
Apa yang hendak kalian katakan, 
apabila Nabi berkata kepada kalian di hadapan malaikat di ufuk 
Mengapa kalian bunuh syahid Allah hanya karena seorang lelaki 
Yang melampaui batas dan merajalela di muka bumi?”

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Kisah Perang ar-Raji’"

Post a Comment