Kekuasaan Dan Imarah Di Kalangan Bangsa Arab

Selagi kita hendak membicarakan masalah kekuasaan di kalangan Bangsa Arab sebelum Islam, berarti kita harus membuat miniatur sejarah pemerintahan, imarah (keemiratan), agama dan kepercayaan di kalangan Bangsa Arab, agar lebih mudah bagi kita untuk memahami kondisi yang tengah bergejolak saat kemunculan Islam.

Para penguasa jazirah tatkala terbitnya matahari Islam, bisa dibagi menjadi dua kelompok:

Raja-raja yang mempunyai mahkota, tetapi pada hakikatnya mereka tidak memiliki independensi dan berdiri sendiri

Para pemimpin dan pemuka kabilah atau suku, yang memiliki kekuasaan dan hak-hak istimewa seperti kekuasaan para raja. Mayoritas di antara mereka memiliki independensi. Bahkan boleh jadi sebagian diantara mereka mempunyai subordinasi layaknya seorang raja yang mengenakan mahkota.

Raja-raja yang memiliki mahkota adalah raja-raja Yaman, raja-raja kawasan Syam, Ghassan dan Hirah. Sedangkan penguasa-penguasa lainnya di jazirah Arab tidak memiliki mahkota.

Raja-raja di Yaman

Suku bangsa tertua yang dikenal di Yaman adalah kaum Saba'. Mereka bisa diketahui lewat penemuan fosil Aur, yang hidup dua puluh abad Sebelum Masehi (SM). Puncak peradaban dan pengaruh kekuasaan mereka dimulai pada tahun sebelas SM.

Klasifikasi periodisasi kekuasaan mereka dapat diperkirakan sebagai berikut :

Antara tahun 1300 SM hingga 620 SM ; pada periode ini dinasti mereka dikenal dengan dinasti al-Mu'iniah, sedangkan raja-raja mereka dijuluki sebagai "Mukrib Saba'", dengan ibukotanya Sharwah. Puing-puing peninggalan mereka dapat ditemui sekitar jarak 50 km ke arah barat laut dari negeri Ma'rib, dan dari jarak 142 km arah timur kota Shan'a' yang dikenal dengan sebutan Kharibah.

Pada periode merekalah dimulainya pembangunan bendungan, yang dikenal dengan nama bendungan Ma'rib, yang memiliki peran tersendiri dalam sejarah Yaman. Ada yang mengatakan, wilayah kekuasaan kaum Saba' ini meliputi daerah-daerah jajahan didalam dan luar negeri Arab.

Antara tahun 620 SM hingga 115 SM ; Pada periode ini dinasti mereka dikenal dengan dinasti Saba', dan mereka menanggalkan julukan "Mukrib" alias hanya dikenal dengan raja-raja Saba' dengan menjadikan Ma'rib sebagai ibukota, sebagai ganti dari Sharwah. Puing-puing kota ini dapat ditemui sejauh 192 km dari arah timur Shan'a'.

Sejak tahun 115 SM hingga tahun 300 M ; Pada periode ini dinasti mereka dikenal dengan dinasti al-Himyariyyah I, sebab kabilah Himyar telah memisahkan diri dari kerajaan Saba', dan menjadikan kota Raidan sebagai ibukotanya, menggantikan Ma'rib. Kota Raidan dikenal kemudian dengan nama Zhaffar. Puing-puing peninggalannya dapat ditemukan di sebuah bukit yang memutar dekat Yarim.

Pada periode ini mereka mulai melemah dan jatuh, serta mengalami kerugian besar dalam perdagangan yang mereka lakukan. Diantara penyebabnya adalah beberapa factor ; pertama, dikuasainya kawasan utara Hijaz. Kedua, berhasilnya Bangsa Romawi menguasai jalur perdagangan laut setelah sebelumnya mereka menancapkan kekuasaan mereka di Mesir, Syria dan bagian utara kawasan Hijaz. Ketiga, adanya persaingan antar masing-masing kabilah . Faktor-faktor inilah yang menyebabkan berpencarnya keluarga besar suku Qahthan dan hijrahnya mereka ke negeri-negei yang jauh.

Sejak tahun 300 M hingga masuknya Islam ke Yaman ; Pada periode ini dinasti mereka dikenal dengan dinasti al-Himyariyyah II dan kondisi yang mereka alami penuh dengan kerusuhan-kerusuhan dan kekacauan, beruntunnya peristiwa kudeta, serta timbulnya perang keluarga yang mengakibatkan mereka menjadi santapan kekuatan asing yang selalu mengintai hingga hal itu kemudian mengakhiri kemerdekaan yang mereka pernah renggut. Begitu juga, pada periode ini Bangsa Romawi berhasil memasuki kota 'Adn serta atas bantuan mereka, untuk pertama kalinya orang-orang Habasyah berhasil menduduki negeri Yaman, yaitu tahun 340 M. Hal itu dapat mereka lakukan berkat persaingan yang terjadi antara dua kabilah; Hamadan dan Himyar. Pendudukan mereka berlangsung hingga tahun 378 M. Kemudian negeri Yaman memperoleh kemerdekaannya akan tetapi kemudian bendungan Ma'rib jebol hingga mengakibatkan banjir besar seperti yang disebutkan oleh Al-Qur'an dengan istilah Sailul 'Arim pada tahun 450 atau 451 M. Itulah peristiwa besar yang berkesudahan dengan lenyapnya peradaban dan bercerai berainya suku bangsa mereka.

Pada tahun 523 M, Dzu Nawwas, seorang Yahudi memimpin pasukannya menyerang orang-orang Nasrani dari penduduk Najran, dan berusaha memaksa mereka meninggalkan agama nasrani. Karena mereka menolak, maka dia membuat parit-parit besar yang di dalamnya api yang menyala, lalu mereka dilemparkan ke dalam api tersebut hidup-hidup, sebagaimana yang diisyaratkan oleh AlQur'an dalam surat al-Buruj. Kejadian ini membakar dendam di hati orang-orang Nasrani dan mendorong mereka untuk memperluas daerah kekuasaan dan penaklukan terhadap negeri Arab dibawah kemando imperium Romawi. Mereka bekerja sama dengan orang-orang Habasyah yang sebelumnya telah mereka provokasi dan menyiapkan armada laut buat mereka sehingga bergabunglah sebanyak 70.000 personil tentara dari mereka.

Mereka untuk kedua kalinya berhasil menduduki negeri Yaman dibawah komando Aryath pada tahun 525 M. Dia menjadi penguasa di sana atas penunjukan dari raja Habasyah hingga kemudian dia dibunuh oleh Abrahah bin ash-Shabbah al-Asyram, anak buahnya sendiri pada tahun 549 M, dan selanjutnya dia berhasil menggantikan Aryath setelah meminta restu raja Habasyah. Abrahah inilah yang mengerahkan pasukannya untuk menghancurkan Ka'bah. Dalam sejarah dia dan pasukannya dikenal dengan pasukan penunggang gajah (ashhabul fil). Sepulangnya dari sana menuju Shan'a', dia mati dan digantikan oleh kedua anaknya yang kedua-duanya ketika menjadi penguasa lebih otoriter dan sadis dari orangtuanya.

Setelah peristiwa "gajah" tersebut, penduduk Yaman meminta bantuan kepada orang-orang Persi untuk menghadang serangan pasukan Habasyah dan kerjasama ini berhasil sehingga mereka akhirnya dapat mengusir orang-orang Habasyah dari negeri Yaman. Mereka memperoleh kemerdekaan pada tahun 575 M, berkat jasa seorang panglima yang bernama Ma'di Yakrib bin Saif Dzi Yazin al-Himyari yang kemudian mereka angkat menjadi raja mereka. Meskipun begitu, Ma'di Yakrib masih mempertahankan sejumlah orang-orang Habasyah sebagai pengawal yang selalu menyertainya dalam perjalanannya. Hal itu justru menjadi bumerang baginya, maka pada suatu hari mereka berhasil membunuhnya. Dengan kematiannya berakhirlah dinasti raja dari keluarga besar Dzi Yazin. Setelah itu Kisra mengangkat penguasa dari Bangsa Persia sendiri di Shan'a', dan menjadikan Yaman sebagai salah satu wilayah konfederasi kekisraan Persia. Kemudian hal itu terus berlanjut hingga era kekisraan terakhir yang dipimpin oleh Badzan, yang memeluk Islam pada tahun 638 M. Dengan keislamannya ini berakhirlah kekuasaan kekisraan Persia atas negeri Yaman *.

* Lihat rinciannya pada buku "al-Yaman 'abrat Tarikh" , hal. 77, 83, 124, 130, 157, 161, dst ; "Tarikh ardhil Quran", Juz I, dari hal. 133 hingga akhir buku ini; "Tarikhul 'Arab Qablal Islam", hal. 101-151 ; dalam menentukan tahun-tahun peristiwa tersebut terjadi perbedaaan yang amat signifikan antara referensi-referensi sejarah. Bahkan sebagian penulis mengomentari tentang rincian tersebut, dengan mengutip firman Allah : "AlQuran ini tidak lain hanyalah dongengan orang-orang dahulu".

Raja-raja di Hirah

Untuk beberapa periode, negeri Iraq masih menjadi konfederasi kekisraan Persia hingga munculnya Cyrus Yang Agung (557-529 SM.) yang dapat mempersatukan kembali Bangsa Persia. Maka selama kekuasaannya, tak seorangpun yang dapat menandingi dan mengalahkannya, hingga muncul Alexander dari Macedonia pada tahun 326 SM, yang mampu mengalahkan "Dara I", raja mereka dan menceraiberaikan persatuan mereka. Akibatnya negeri mereka terkotak-kotak dan muncullah di masing-masing wilayah raja-raja baru, yang dikenal dengan raja-raja ath-Thawa'if . Mereka berkuasa atas wilayah-wilayah masing-masing hingga tahun 230 M. Pada era kekuasaan raja-raja ath-Thawa'if inilah orang-orang Qahthan berpindah dan kemudian menempati daerah pedalaman Iraq. Mereka kemudian berpapasan dengan orang-orang dari keturunan 'Adnan yang juga berhijrah dan membanjiri pemukiman baru tersebut dan memilih bermukim di wilayah teluk dari sungai Eufrat .

Bangsa Persia kembali menjadi suatu kekuatan untuk kedua kalinya pada era Ardasyir, pendiri dinasti Sasaniyah sejak tahun 226 M. Dialah yang berhasil mempersatukan Bangsa Persia dan memaksa Bangsa Arab yang bermukim disana untuk mengakui kekuasaannya. Dan ini merupakan sebab mengungsinya orang-orang Qudha'ah ke Syam dan tunduknya penduduk Hirah dan Anbar kepadanya.

Pada era Ardasyir ini pula, Judzaimah al-Wadhdhah berkuasa atas Hirah dan seluruh penduduk pedalaman Iraq dan Jazirah Arab yang terdiri dari keturunan Rabi'ah dan Mudhar. Ardasyir merasa mustahil dapat menguasai Bangsa Arab secara langsung dan mencegah mereka untuk menyerang kekuasaannya kecuali dengan cara menjadikan salah seorang dari mereka (Bangsa Arab) yang memiliki kefanatikan dan loyalitas terhadapnya dalam membelanya sebagai kaki tangannya. Disamping itu, dia juga sewaktu-waktu bisa meminta bantuan mereka untuk mengalahkan raja-raja Romawi yang amat dia takuti. Dengan demikian dia dapat menandingi tentara bentukan yang terdiri dari Bangsa Arab juga, seperti apa yang dibentuk oleh raja-raja Romawi sehingga berbenturanlah antara Bangsa Arab Syam dan Iraq. Dia juga masih mempersiapkan satu batalyon dari pasukan Persia untuk disuplai dalam menghadapi para penguasa Arab pedalaman yang membangkang terhadap kekuasaanya. Juzaimah meninggal sekitar tahun 268 M.

Sepeninggal Juzaimah, 'Amru bin 'Ady bin Nashr al-Lakhmi naik tahta dan menjadi penguasa atas Hirah dan Anbar pada tahun 268-288 M. Dia adalah raja dari dinasti Lakhmi Pertama pada era Kisra Sabur bin Ardasyir dan kekuasaan dinasti Lakhmi terus berlanjut atas kedua wilayah tersebut hingga naiknya Qubbaz bin Fairuz menjadi Kisra Persia pada tahun 448-531 M. Pada era kekuasaannya muncullah Mazdak, yang mempromosikan gaya hidup permisivisme. Tindakannya ini diikuti juga oleh Qubbaz dan kebanyakan rakyatnya. Qubadz kemudian mengirim utusan kepada raja Hirah, yaitu al-Mundzir bin Ma'us Sama' (512-554 M), dan mengajaknya untuk memilih faham ini dan menjadikannya sebagai jalan hidup . Namun al-Mundzir menolak ajakan itu dengan penuh kesatria, sehingga Qubbadz mencopotnya dan menggantikannya dengan al-Harits bin 'Amru bin Hajar al-Kindi yang merespons ajakan kepada Mazdakisme tersebut.

Qubbadz kemudian diganti oleh Kisra Anusyirwan (531-578 M) yang sangat membenci faham tersebut. Karenanya, dia kemudian membunuh Mazdak dan banyak para pengikutnya serta mengangkat kembali al-Munzir sebagai penguasa atas Hirah. Sementara itu dia terus memburu al-Harits bin 'Amr akan tetapi dia memilih bersembunyi ke pemukiman kabilah Kalb hingga meninggal di sana.

Kekuasaan Anusyirwan terus berlanjut sepeninggal al-Munzir bin Ma'us Sama', hingga naiknya an-Nu'man bin al-Munzir. Dialah orang yang memancing kemarahan Kisra, yang bermula dari adanya suatu fitnah hasil rekayasa Zaid bin 'Adiy al-Ibady. Kisra akhirnya mengirim utusan kepada an-Nu'man untuk memburunya, maka secara sembunyi-sembunyi, an-Nu'man menemui Hani' bin Mas'ud, pemimpin suku Ali Syaiban seraya menitipkan keluarga dan harta bendanya. Setelah itu, dia menghadap Kisra yang langsung menjebloskannya ke dalam penjara hingga meninggal dunia. Sebagai penggantinya, Kisra mengangkat Iyas bin Qabishah Ath-Thaiy dan memerintahkannva untuk mengirimkan utusan kepada Hani' bin Mas'ud agar dia memintanya untuk menyerahkan titipan yang ada padanya namun Hani'menolaknya dengan penuh keberanian bahkan dia memaklumatkan perang melawan raja.

Tak berapa lama tibalah para komandan batalyon berikut prajuritnya yang diutus oleh Kisra dalam rombongan yang membawa Iyas tersebut sehingga kemudian terjadilah antara kedua pasukan itu, suatu pertempuran yang amat dahsyat di dekat tempat yang bernama "Zi Qaar" dan pertempuran tersebut akhirnya dimenangkan oleh Banu Syaiban, yang masih satu suku dengan Hani' sementara hal ini bagi Persia merupakan kekalahan yang sangat memalukan. Kemenangan ini merupakan yang pertama kalinya bagi bangsa Arab terhadap kekuatan asing. Ada yang mengatakan bahwa hal itu terjadi tak berapa lama menjelang kelahiran Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sebab beliau lahir delapan bulan setelah bertahtanya Iyas bin Qabishah atas Hirah.

Sepeninggal Iyas, Kisra mengangkat seorang penguasa di Hirah dari bangsa Persia yang bernama Azazbah yang memerintah selama tujuh belas tahun (614-631 M). Pada tahun 632 M tampuk kekuasaan disana kembali dipegang oleh keluarga Lakhm. Diantaranya adalah al-Munzir bin an-Nu'man yang dijuluki dengan "al-Ma'rur". Umur kekuasaannya tidak lebih dari delapan bulan sebab kemudian berhasil dikuasai oleh pasukan Muslimin dibawah komando Panglima Khalid bin al-Walid.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Kekuasaan Dan Imarah Di Kalangan Bangsa Arab "

Post a Comment