Kebahagiaan Yang Hakiki

Mengejar Kebahagiaan Hakiki


“Kamu serius mau berhenti kerja? Suamimu sudah kaya ya?”

Degg! Kaget, heran, sedih, terhenyak, semua perasaanku bercampur baur. Tak menyangka ucapan kasar itu muncul dari mulut kolega kerjaku, mbak X (sebut saja demikian) yang selama ini boleh dikata merupakan dosen yang khusus kubantu dalam penanganan tes massal di kampusku. Kata tak santun dari mulut seseorang yang berpendidikan tinggi, kaum terpelajar!

Dengan muka ungu menahan amarah yang coba kupendam, kutelusuri wajah ayunya. Sama sekali tak bergeming dari rautnya yang tegang. Kami sama-sama membara. Sedetik berlalu, kutinggalkan ia. 'Time-out' sekaligus menurunkan ketegangan emosi yang memenuhi dada masing-masing.

Hari ini seolah memang bukan hari indahku. Bagaimana tidak, tiba-tiba saja segala problema yang selama ini berusaha sekuat tenaga aku pendam, termuntahkan, dan ditambah dengan ucapan spontanku untuk mengundurkan diri dari pekerjaanku sebagai dosen fakultas psikologi. Aku lelah, lelah mental terutama. Ibarat aku menetap di dalam rumah tanpa jendela dan cahaya, pemberontakanku mencapai titik klimaks. Aku ingin bebas dari situasi ini. Bebas, BEBAS! Biarlah orang bicara apa saja, asalkan aku bebas....

Menjadi dosen adalah pilihan karirku, cita-citaku. Mungkin karena aku dibesarkan dalam keluarga guru, dan budaya membaca demikian kental dan mengasyikkan. Dedikasi tinggi dari bapak dan ibu terhadap pekerjaannya, begitu memukau pesona. Bahwa ilmu yang diajarkan insya Allah takkan berhenti di satu terminal, namun akan terus mengalir dan mengalir beserta pahalanya. Jadilah aku menggapai asaku, memenuhi harapan orang tuaku, sekaligus menobatkan predikat psikolog di bahuku.

Semula segalanya berjalan baik-baik saja. Menikah, dan kemudian lahirlah putri sulungku, Kuni. Kami pindah ke daerah Cimanggis, dengan memboyong serta Yu Ri'ah. Masalah mulai muncul ketika ia ternyata tidak kembali lagi dari kampungnya setelah lebaran usai. Aku tak kunjung mendapatkan penggantinya yang memadai. Jujur saja, mungkin standar dan tuntutan terhadap calon khadimat terlalu tinggi dan ideal. Bagaimana tidak, dia haruslah seorang yang sabar dan ngemong terhadap anakku. Terus-terang, agaknya ini dipicu oleh pengalaman mengamati anak-anak tetangga baruku di perumahan itu yang kebanyakan nakal dan diasuh oleh pembantu, sementara sang ibu bekerja seharian penuh di kantor. Tentu sulit mencari khadimat yang sempurna sesuai gambaranku kala itu. Beberapa kali aku mendapat khadimat baru, hanya bertahan sebentar, dengan beraneka ragam kendala dan hambatan.

Begitulah, akhirnya aku tidak punya pilihan lain kecuali selalu membawa anakku ke kampus. Kuni yang saat itu baru berusia satu tahun selama hampir setahun lamanya kubawa-bawa selama aku mengajar. Ia ikut ke kelas, ikut membaca di perpustakaan bagian, atau bahkan ikut rapat rutin seminggu sekali setiap hari Kamis. Yang sering terjadi adalah ia kelelahan menanti mamanya bekerja, hingga kadang-kadang tertidur di bilik shalat. Sementara aku terpaksa tidak dapat lagi ikut terlibat dalam kegiatan pelatihan siswa SMU/STM yang rutin diadakan Bagianku. 

Kucoba menutup telinga atas komentar teman-teman dosenku, namun lama-kelamaan aku menyadari bahwa itu sangatlah tidak adil buat mereka. Perlahan-lahan keadaan ini membuka celah mata hatiku. Meresahkanku, mengusik hati nuraniku. Ya Rabb, apa yang sebenarnya kucari selama ini? Mencari materi alias uang sebanyak-banyaknya? Mempertahankan gengsi karena berhasil menjadi dosen di kampus negeri yang ternama seantero Indonesia dalam usia muda? Setimpalkah semua itu dengan pengorbanan anakku yang masih belia? Bukankah seharusnya terbalik, akulah yang semestinya berkorban untuknya, untuk kehidupannya, demi kebahagiannnya? Bukankah itu esensi terindah dari seorang ibu? Bukan, atau iya? Bagaimana dengan sabda Rasulullah SAW bahwa surga di bawah telapak kaki ibu? Namun telapak kaki ibu yang bagaimana? Rasanya aku bukan kategori ibu demikian. Astaghfirullah, astaghfirullah....

Sejuta pertanyaan bertalu-talu, sama layaknya sejuta jawab beterbangan di isi kepalaku. Pusing, bingung, frustrasi, seolah kaki tak tahu harus melangkah ke mana. Sungguh suatu ironi seorang psikolog tak mampu mencari jawab atas problema hidupnya sendiri. Setiap bertanya kepada teman sejawat, fokus mereka selalu berlabuh pada karir dan karir. Anak bisa dititipkan kepada ibu atau mertua, carilah pembantu dari yayasan, kalau perlu dua orang, kamu harus bisa menyiasati keadaan, dan bla bla, bla.... Semua itu bagiku tidak memberi jalan keluar karena bertentangan dengan prinsip hidupku dan suamiku. Bagi kami, anak identik dengan amanah yang perlu dan harus dipertanggungjawabkan. Lalu di mana tanggung jawab kami bila amanah itu dengan seenaknya dititipkan, terlebih pada ibu dan ibu mertua yang kebetulan masih aktif bekerja? Apakah itu justru bukan saat yang tepat untuk beristirahat bagi ibu-ibu kami yang sudah berusia paruh baya?

Saat itu kuteringat dengan firman-Nya dalam Al Qur'an surat Al Baqarah : 286, ”Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kesanggupannya...”. Apakah ini menyiratkan agar aku bersegera bertindak atas lingkaran setan problemku? Namun jauh di permukaan, entah mengapa, aku masih saja terjebak dalam dilema, hati ini masih berbolak-balik, antara keinginan untuk mencoba bertahan atas karirku yang susah payah kubangun semenjak masih kuliah, berhasil menjadi lulusan terbaik, bahkan menjadi wakil teman-teman saat menerima ucapan selamat dari Bapak Rektor, kesadaran akan potensi diri yang begitu besar, dengan beratnya hati untuk berkonsentrasi penuh menjadi ibu rumah tangga. Keraguan itu masih saja mendera-dera kalbu dan menjebak dalam situasi tak pasti.

Ketika hati ini masih digayuti pertanyaan-pertanyaan itu, seorang teman datang menghampiri. Ia dosen muda dari Bagian/Jurusan yang berbeda. Kebetulan ia beragama nasrani. Meski begitu, selama ini kami cukup dekat berkawan. Setelah mendengar keluh-kesahku, tuturannya yang bernas masih segar terngiang-ngiang di telingaku.

“Din, aku ikut prihatin dengan problemmu. Tapi cobalah tanya pada hati nuranimu sendiri, apa yang menjadi kebahagiaan hakikimu? Kebahagiaanmu yang sebenar-benarnya? Orang tentu boleh bicara atau berpendapat apa saja, itu hak mereka. Tapi kamulah yang mengambil keputusan, bukan mereka.”

Saat itu, ucapannya benar-benar meruapkan pencerahan bagiku. Tak peduli ia seorang nasrani, tapi tutur katanya seolah air dingin yang menyejukkan hati dan menyadarkanku bahwa selama ini aku buta, dibutakan oleh segala sesuatu yang maya dan hanya fatamorgana semata. Alangkah nista, cita-citaku begitu duniawi, sementara aku, seorang wanita yang telah menikah, berkeluarga, dan mempunyai anak, telah nyata-nyata menyisihkan kebahagiaan hakiki itu. Aku lupa menyandarkan dan memasrahkan segala yang kumiliki pada-Nya. Tentu saja Dia tidak meridhoi jalanku, karena aku telah buta arah.

Ketika kemudian di rumah aku merenung dalam malam yang tenang seusai shalat istikharah, fragmen-fragmen kehidupanku seolah berputar ulang. Saat aku tergopoh-gopoh pergi bersiap ke kampus, sementara anakku justru dibuai kantuk; saat hujan meluluhlantakkan jemuran bajuku; saat aku tergesa memasak dan mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga dan bahkan sering marah kepada putri kecilku; atau tatkala aku setengah memaksa mengerjakan tugas mengoreksi laporan tes mahasiswa di malam buta, sementara mata dan tubuhku ingin sekali terpejam dan berbaring. Ah, semua sama sekali tidak terfokus, tidak maksimal. Tak satupun yang 100% bisa dipenuhi dengan gemilang. Benar-benar mengecewakan! Dan akhirnya, shalat dan ibadah kepada-Nya hanyalah sebatas ritual saja. Entah sudah berapa lama kuabaikan hak-hak Sang Khalik, hak-hak orang tercinta di sekelilingku. Oh Gusti, aku sudah menzhalimi mereka. Aku menangis dan terus beristighfar menyebut asma-Nya.

Kusadari sepenuhnya, aku tidak bisa bertahan pada situasi buruk ini. Dan kuyakin sudah digariskan oleh Allah SWT pada tahun berikutnya kami (aku dan suami) pergi haji. Kelihatannya Dia ingin memberi waktu lapang untukku merenungkan kembali dan introspeksi atas segala perbuatanku, komitmenku terhadap-Nya. Alhamdulillah, meski sempat dibujukrayu dengan iming-iming dari pihak fakultas, sepulang dari perjalanan ibadah itu, justru tekadku untuk mengundurkan diri dan total berkarir di rumah sebagai ibu rumah tangga semakin bulat dan mantap. Meski hingga detik ini aku masih belajar dan terus belajar menjadi ibu dan istri yang baik dan jauh dari sempurna, kesempatan itu selalu terbuka luas untukku. Dan aku tidak mau menyia-nyiakan peluang yang mungkin hanya sekali terbentang seumur hidupku.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Kebahagiaan Yang Hakiki"

Post a Comment