Kala Pernikahan Dilelang

Kala Pernikahan Dilelang... 

Nama Amih, umur 25 tahun, status janda.... Mata saya langsung terfokus pada kata- kata "janda" di fotokopian KTP yang saya baca. Refleks saya berujar sedikit keras "Umur 25 tahun, sudah janda?" Temen disebelah meja saya langsung meledek. "Memangnya kamu Din, umur mau 26 status masih single.... dia masih mending, punya rekor menikah sekali, walaupun gagal... "

"Eitsss... jangan salah, emangnya nikah itu bisa asal-asalan apa? Mending status single lah daripada nikah tanpa adanya komitmen yang baik antar dua belah pihak!" cerocos saya sedikit sewot, teman saya malah tertawa-tawa meledek... dasar !!

Saya tambah penasaran ingin segera bertemu dengan orangnya, ingin ngobrol sekalian interogasi, bukannya ingin mengorek privacy orang, hanya sekedar ingin tahu saja, ngga salah kan?

Hari Senin tanggal 25 Agustus 2003 dia mulai masuk kerja, Perusahaan tempat saya bekerja memang sedang merekrut office girl baru Kebetulan meja saya berdekatan dengan meja HRD, jadi iseng-iseng saya baca KTP dan daftar Riwayat hidupnya, dia lulusan SMP, dan tinggal di kampung disekitar kawasan industri tempat saya bekerja. Perusahaan memang sengaja merekrut orang-orang kampung sebagai cleaning service dan office girl, karena memang ada kesepakatan antara pihak kampung dengan pengelola kawasan industri agar memprioritaskan orang-orang kampung sekitar kawasan sebagai tenaga kerja. Dulunya kawasan industri ini lahannya adalah milik orang-orang kampung yang kena gusuran karena akan didirikannya kawasan ini delapan tahun yang lalu.

Akhirnya tibalah hari Senin itu, saat makan siang sengaja saya duduk dekat dengannya...sedikit SKSD (Sok kenal Sok dekat). Sssst... saya terlalu penasaran ingin tahu kisahnya. Setelah pembicaraan yang agak lama akhirnya pembicaraan kami terfokus juga ke hal yang satu itu.

"Dulu sebelum kerja, disini, pernah kerja dimana?" tanya saya sedikit penasaran.

"Dulu saya jualan gorengan bu deket rumah, cuman karena anak saya udah mulai SD jadi saya nyari kerja yang gajinya lumayan buat biayain anak. Untungnya saya keterima kerja di sini," jawabnya lugu.

"Oooo, Amih udah punya anak, umur berapa tahun?" tanya saya lagi. Wah sudah mulai ngena pada apa yang mau saya tanyakan nih.

"Umur tujuh tahun bu, anak satu-satunya, saya nikah umur 17 tahun bu, trus pisah sama suami pas saya lagi hamil 3 bulan, abisnya suami saya suka main judi, minum dan sering gak pulang, saya gak tahan lagi bu. Jadi saya pulang kerumah orangtua saya," tanpa saya tanya lebih lanjut cerita itu meluncur sendiri dari bibirnya.

"Berarti sekarang kamu udah cerai?"

"Ngga cerai bu, cuman pisah aja, sampe sekarang ngga ada surat cerai, tapi dia udah kawin lagi sama perempuan kampung sebelah, dia gak pernah kasih biaya dan gak mau liat anaknya, sampe sekarang anak saya gak tau wajah bapaknya," ceritanya panjang lebar. "Memangnya dulu kamu kenal dia berapa lama sebelum mutusin buat nikah?" "Saya pacaran 2 tahun bu, dulu sih dia baik banget, gak ada keliatan suka main judi pokoknya baik banget deh bu, maka nya saya mau aja waktu dia ngajak kawin. Lagian di kampung saya umur 17 tahun itu dah pada nikah bu, orang tua saya juga nyaranin buat nikah aja, lumayan juga biar ngeringanin biaya orangtua," ujarnya polos.

Dada saya sedikit sesak mendengar penuturannya, lagi-lagi saya harus mendengar penuturan perempuan-perempuan polos dan lugu yang gagal dalam pernikahannya. Saya jadi teringat 6 bulan yang lalu, saat itu khadimat dirumah berhenti bekerja karena ingin istirahat dikarenakan sakit. Sedikit kesulitan juga mencari penggantinya, karena pembantu jaman sekarang harus benar-benar orang yang dapat dipercaya, kebetulan pembantu di rumah kakak saya bilang kalau dia punya kakak perempuan di kampungnya yang sekarang nganggur dan ingin bekerja, maka jadilah kami buat kesepakatan untuk bertemu kakaknya dan melakukan sedikit wawancara. 

Saat datang kerumah, dia ditemani ibunya dan adiknya yang masih balita. Setelah ngobrol perihal pekerjaan yang akan ditugaskan, sedikit bercanda saya lontarkan pertanyaan, "Kok kakak beradik beda banget wajahnya, biasanya suka ada mirip-miripnya." Tanpa diduga si ibu nya calon khadimat kami itu menjawab, "Anak- anak saya, ketiga-tiga nya beda bapak, saya nikah empat kali, dari suami pertama sih gak dapet anak, dan tiga anak ini dari suami kedua, ketiga dan keempat, jadi gak ada yang sama bapaknya..." tutur si ibu dengan wajah lugunya, padahal umur si ibu itu sekarang baru 31 tahun. Tapi rekor menikahnya sudah empat kali...

Astagfirullah... Saya dan ibu saya sampai terbengong-bengong mendengarnya. 

"Yah namanya dikampung, kalau umur lima belas dan udah lulus SD yaa tinggal nunggu dikawiniin, nerusin sekolah juga gak ada biaya, trus daripada dibilang perawan tua jadi ya kawin aja., trus kalo ngga cocok, berantem terus ,jadi ya cerai trus kawin lagi ma yang lain..."tuturnya dengan amat ringan. Saya yang terkaget-kaget... semudah itukah??

Haruskah pernikahan dijelang dengan pemikiran yang teramat "polos" seperti itu? Haruskah nantinya anak - anak lagi yang akan menjadi korban sehingga mereka akhirnya tidak terbiayai sekolahnya dan harus menerima nasibnya sebagai pembantu rumah tangga diusia 13 ataupun diam dikampung untuk kemudian mengikuti jejak ibunya. Dinikahkan di usia muda belia tanpa pemahaman yang baik tentang segala hal menyangkut pernikahan? Mending kalau pas lagi mujur bertemu dengan laki-laki yang punya tanggung jawab, kalau sebaliknya? Haruskah mata rantai itu terus menerus berputar dan tidak pernah terputus sehingga kesengsaraan terus menerus berlangsung?

Haruskah pernikahan dijelang karena kita takut dibilang "ngga laku" , "Perawan tua", dan lain sebagainya? Sehingga karena ketakutan-ketakutan semacam itu membuat kita jadi asal pilih, asal nikah biar ngga ada lagi orang yang meledek? Tentu tidak...!!! Tapi memang tidak semua orang punya pilihan untuk mempertahankan keinginan - keinginan pribadinya, untuk menentang keinginan - keinginan orang disekitarnya terutama orangtua, terutama dikampung - kampung yang memang latar belakang pendidikan dan pemahaman tentang konsep pernikahan amat minim, sehingga benar-benar terdesak dalam posisi menerima apa adanya.

Haruskah pernikahan dijelang hanya untuk memuaskan hasrat biologis, lalu setelah bosan maka ditinggalkan begitu saja seperti habis manis sepah dibuang? Haruskah pernikahan dijelang untuk saling menyakiti dan menunjukkan siapa yang lebih berkuasa dalam rumah tangga?

Haruskah pernikahan dijelang demi prestise semata dengan pesta yang teramat meriah sementara pernikahannya hanya seumur jagung dan tanpa makna?

Sudah jadi tradisi sebuah pernikahan di kampung-kampung yang dirayakan dengan amat meriah, orkes dangdut semalam suntuk yang memekakan telinga, layar tancap, pesta 3 hari 3 malam. Ada juga yang sampai 7 hari 7 malam dan yang lebih mengejutkan lagi, keluarga-keluarga yang ekonominya pas-pasan pun saat menikahkan anak gadisnya seolah tidak mau kalah meriah, entah darimana uangnya. Mereka lebih memilih menikahkan anak-anaknya yang masih usia sekolah dengan meriah dibanding harus mengeluarkan biaya untuk sekolah anak-anaknya. Alasannya katanya supaya beban tanggungjawab biaya terlepas, padahal kenyataan yang ada malah sebaliknya, anak - anak gadis mereka banyak yang cerai dan kembali pulang ke rumah orang tuanya dengan membawa anak. Bukankah itu namanya malah bukan memperingan biaya tapi malah menambah biaya dan beban bagi orangtua nya? Itu juga terjadi dikampung jauh di belakang komplek perumahan saya, karena pembantu kami dulu berasal dari sana, jadi saya sering mendengar ceritanya dari beliau.

Haruskah pernikahan dijelang tanpa persiapan, pemahaman agama, komitmen dan konsep yang jelas tentang segala hal dalam rumah tangga?

Haruskah pernikahan dijelang tanpa melibatkan Allah dalam setiap doa kita untuk mendapatkan jodoh yang terbaik menurut pandangan Allah? Karena yang terbaik menurut kita belum tentu terbaik dalam pandangan Allah.

Tentu saja jawaban dari semua pertanyaan itu adalah. TIDAK....

Pernikahan dijelang TIDAK untuk saling menyakiti, TIDAK untuk saling menonjolkan diri siapa yang lebih berkuasa dan siapa yang tidak, pernikahan dijelang bukan untuk unjuk kekuasaan, bukan untuk kenikmatan sesaat..dan masih banyak lagi.

Seperti yang ditulis Al- Imam Fakhrudddin Ar-Razi yang saya kutip dari buku "Wawasan Al- Quran" Bab Pernikahan Karya Dr.M.Quraish Shihab,

"Keberhasilan Perkawinan tidak tercapai kecuali jika kedua belah pihak memperhatikan hak pihak lain. Tentu saja hal tersebut banyak, antara lain adalah bahwa suami bagaikan pemerintah, dan dalam kedudukannya seperti itu, dia berkewajiban untuk memperhatikan hak dan kepentingan rakyatnya (istrinya). Istri pun berkewajiban untuk mendengar dan mengikutinya, tetapi disisi lain perempuan mempunyai hak terhadap suaminya untuk mencari yang terbaik ketika melakukan diskusi."

Selain itu pula, Abdul Halim Abu Syuqqah dalam bukunya "Kebebasan Wanita" mendeskripsikan keadaan laki-laki dan perempuan dalam perkawinan dengan amat indahnya:

"Laki-laki adalah benteng keamanan yang dapat dipercaya, yang penuh dengan rasa cinta dan kasih sayang, yaitu tempat si wanita (istri) mencari ketenangan dan ketentraman. Dan wanita adalah lahan subur yang sejuk dan rindang, yang penuh dengan rasa cinta dan kasih sayang, yaitu tempat si laki-laki (suami) mencari ketenangan dan ketentraman.

Sesungguhnya kebesaran laki-laki tampak dalam persahabatannya dengan wanita (istri) yang saleh, hingga ia berhasil dalam kerjanya, dan berjuang keras untuk menjunjung tinggi bangsanya dan membangun umatnya.

Dan kebesaran wanita hanya muncul dan bersinar dalam persahabatannya dengan suami yang saleh, sehingga ia menjadi matahari yang menyinari, merpati yang mengepakkan sayap, bunga yang harum semerbak, dan tempat tinggal yang menyenangkan."

Para wanita, termasuk saya tentunya, siapkah menjadi matahari yang menyinari..merpati yang mengepakkan sayap, bunga yang harum semerbak dan tempat tinggal yang menyenangkan nanti disaat pernikahan itu tiba di depan mata?

Para lelaki...siapkah menjadi benteng keamanan yang dapat dipercaya ? Dan bisa menjadi sahabat tempat berdiskusi segala hal dengan istri...?

Semua tergantung kita...yang akan menjalaninya.. jawabannya... cukup dihati saja...

Semoga tidak ada lagi yang terdzalimi..

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Kala Pernikahan Dilelang"

Post a Comment