Hati Yang Mati

Saat Hati Telah Mati

Suatu kali, saya mendengar seorang teman baik saya menceritakan pengalamannya. Mengenai obrolannya dengan seorang supir taksi. Si supir rupanya baru pertama kali menjalani pekerjaan sebagai seorang supir taksi. Sebelumnya ia pernah bekerja di sebuah perusahaan negara, dan memiliki penghasilan yang lebih dari cukup. Maka, teman saya pun merasa heran. Mengapa kini ia memilih berprofesi sebagai supir taksi.

"Habis, saya dipecat dari perusahaan itu, neng"

"Wah, kenapa tuh, bang? Kok bisa dipecat? Apa karena efisiensi karyawan ya?"

"Oh, bukan, neng! Saya dipecat gara-gara ketahuan korupsi."

Kontan teman saya terbelalak. Kaget. Supir taksi tersebut mengatakannya sambil terkekeh-kekeh. Tak terlihat ada rasa malu atau penyesalan dari raut wajahnya. Begitu cerita teman saya.

"Terus, keluarga di rumah gimana, bang?" Teman saya pun bertanya kembali, masih dengan perasaan bingung.

"Oh, ... ya nggak apa-apa, neng. Biar dipecat juga, kan saya udah punya rumah. Ya, hasil korupsi itu tadi. Ya, udah puas lah saya. He he he ..."

Saya yang mendengar cerita itu, ikut bingung ingin berekspresi seperti apa. Ingin tertawa, sebab kok ya ada orang yang sudah berbuat salah tetapi malah bangga dengan kesalahannya. Merasa kesal, kalau saja saya yang mendengar langsung cerita itu, mungkin si supir sudah saya ceramahi habis-habisan. Pun kasihan, dengan seseorang yang tak lagi bisa membedakan perbuatan baik dan buruk. Atau sebenarnya ia bisa membedakan dan tahu jelas sanksi yang menjadi konsekuensinya, tetapi ia telah demikian tergiur hingga tak lagi peduli sebab harta sudah di tangan.

Sejenak kemudian saya membayangkan, apa jadinya bila hal itu menimpa diri saya. Bila nikmat harta itu terpampang di depan diri saya ini, apakah sanggup saya mempertahankan keimanan untuk tidak sedikit pun menjamahnya? Sebab saya tak pernah tahu dan seringkali tak menyadari saat hati ini perlahan mulai melemah. Ketika secara tak sadar, diri saya mulai memaklumi kesalahan-kesalahan kecil yang saya perbuat. Ketika pelan-pelan kemalasan mulai menarik diri ini dari kedekatan pada-Nya. Sampai benar-benar jauh, sampai tak lagi bisa merasakan apa-apa.

Saat hati kita telah mati, maka bisa jadi, seberapa pun usaha kita untuk melongok, melihat ke dalamnya-ia tak berisi. Untuk setiap kesalahan kecil yang kita perbuat, untuk tiap detil kemaksiatan yang terlakukan baik sadar maupun tidak, untuk pemakluman terhadap menumpuknya sudah segala bentuk kebiasaan-kebiasaan buruk kita, untuk dosa besar sekalipun, bila hati ini telah mati, maka ia tak lagi bisa memberontak, bahkan untuk sedikit saja tergerak.

Mungkin dalam alam bawah sadar, kita akan bertanya,

Wahai hati, mengapa tak lagi kudapat rasakan kelezatan itu.
Getaran saat diucapkan nama-Nya.
Rasa yang merayap melebihi biasa, ketika kudengar ayat-ayat-Nya.
Atau pedih kala kuingat kembali, betapa penuh dosa diri ini.
Pula sergap rasa takut yang menjelang, sewaktu kusadari kobar neraka tak kan henti menyala.

Duhai hati, kian kesatkan dirimu kini?
Apakah ini saatnya engkau mati?

Duhai rindu, datanglah kembali ...

Saat itu, setelah teman saya selesai bercerita, saya langsung bergidik. Ngeri, membayangkan bila itu terjadi pada diri saya. Saat itu, saya bilang padanya,

"Nanti, kalau gue udah mulai 'bandel', elo harus jadi orang pertama yang ngingetin gue, ya !!!"

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Hati Yang Mati"

Post a Comment