Debat Dalam Dakwah

“Debat” Dalam Dakwah 
Penulis: Dhurarudin Mashad 


Pada awal kedatangan Nabi Muhammad SAW di Madinah, penduduk kota (baca: kaum Anshor) menyambut kedatangan Nabi dengan meriah. Bukan saja gebyar parade hadrah dengan nyanyian Tola’al badrun ‘alaina yang mereka perlihatkan, lebih dari itu masyarakat dengan antusias melakukan penghancuran berbagai berhala yang secara turun menurun menjadi obyek penyembahan.

Salah seorang pemimpin suku Bani Salmah bernama Amar bin Jumuh, meski ikut antusias menyongsong Nabi, namun pada saat yang sama tetap mempertahankan berhala yang ia miliki. Dia mengakui Nabi sebagai manusia agung, berbudi luhur, sehingga patut untuk disanjung. Tapi, hati Amar belum secara utuh berkehendak meninggalkan kultur leluhur untuk mengikuti kepercayaan baru yang dibawa Muhammad SAW. Oleh karena itu Amar masih menempatkan berhala di depan rumahnya.

Untuk menyadarkan sikap mendua Amar tadi, bahwa berhala kayu adalah barang tak berguna, maka sebagian pemuda suku Bani Salmah pada malam yang sunyi melemparkan berhala milik Amar ke dalam lubang pembuangan air alias kakus. Pagi harinya, Amar bingung mencari-cari. Setelah putar sana putar sini, akhirnya berhala berhasil ditemukan dalam kakus tadi. Dengan tergopoh-gopoh Amar mengambil “tuhan”-nya, lantas mencucinya, lalu meletakannya di tempat asalnya.

Malam hari, para pemuda mengulangi, melempar berhala dalam kakus lagi. Esok paginya Amar kembali mencari lagi, memungut lagi, dicuci lantas ditempatkan di tempat semula, depan rumah. Namun, kali ini Amar mengikatkan pedang di leher berhala sambil berpesan, “Jika engkau benar-benar sebagai sumber kekuatan di dunia, belahlah dirimu sendiri.”

Esok pagi, Amar menemukan berhalanya tak lagi di kakus, melainkan terikat pada bangkai seekor anjing. Melihat kejadian berulangkali ini Amar menjadi sadar bahwa: kedudukan manusia terlalu tinggi dan utama dibanding harus tunduk, menyembah patung berhala yang tak mampu berbuat apa-apa. Oleh karenanya lantas ia berbicara: “Demi Allah, jika engkau tuhan yang sesunguhnya, niscaya engkau tak kan berada pada lubang kakus dan terikat pada bangkai anjing. Puji Allah yang memiliki seluruh rahmat. Dia-lah yang Maha Penyayang, yang memelihara dan memberi kita keselamatan sebelum kita dibawa ke liang kubur.” Keimanan Amar pada ajaran Muhammad sejak itu pula menjadi utuh, lahir dan batin, tidak setengah-tengah.

H i k m a h

“addinu ‘aqlun waladdinu liman lam ‘aqla lahu: Agama Islam itu rasional dan tidak beragama Islam bagi orang yang tidak memakai rasio.” Amar melalui bantuan kaum muda sesukunya akhirnya diajak main logika, betapa benda yang dianggap Tuhan ternyata tidak bias berbuat apa-apa. Setelah Amar ikut memakai rasionya, barulah dai menyadari tentang kebodohannya sendiri, mengikuti agama leluhurnya yang irasional: menyembah patung bikinan manusia sendiri.

Sebelum memakai logika, keagamaan Amar masih bersifat given, bukan berpijak pada kajian intelektual akademis. Dengan keagamaan bertipe given, mengandalkan agama warisan, pemahaman terhadap agama yang dipeluknya menjadi bersifat sangat permukaan dan tidak mendalam. Tipe keagamaan model ini tentu saja sangat mempengaruhi perilaku umat beragama yang cenderung fanatik tanpa makna, atau behkan membuta.

Dakwah yang dilakukan kaum muda Islam atas diri Amar memang sangat unik, berupa “debat argumentasi” tetapi lewat tindakan bukan ucapan. Dalam Islam metode amar ma’ruf (menyeru pada kebajikan) memang dapat dilakukan dalam tiga wujud, ud’u ilaa sabiili robbika bilhikmati wal mau’idhotil hasanah wajaadilhum billati hiya ahsan: serulah ke jalan Tuhanmu (1) dengan hikmah, (2) dengan memberi nasihat yang baik, serta (3) dengan berdebat (adu argumentasi) secara baik pula.

Amar ma’ruf dengan hikmah maknanya menyeru orang lain pada kebajikan dengan cara da’wah bil hal yakni memberi contoh amal kebajikan. Orang-orang tertentu hanya dengan melihat kebajikan hatinya sudah langsung cenderung mengikuti. Namun, kepada mereka yang dengan contoh saja tak berkecenderungan mengikuti, kepadanya perlu diberi mau’idhotil hasanah, nasihat-nasihat, agar mengikuti kebajikan. Tapi, masih ada pula orang yang tak cukup dengan nasihat, melainkan butuh di yakinkan agar mau mengikuti kebenaran, yakni melalui adu argumentasi, debat dan diskusi yang dalam terminology Alquran disebut jaadilhum billatii hiya ahsan.

Hal ini sesuai dengan pendapat al-Ghazali, bahwa “mereka yang diseru menuju Allah dengan cara hikmah adalah satu kelompok tertentu, yang diajak menuju jalan Allah dengan cara mauizhah yang baik adalah satu kelompok tersendiri, bagi mereka yang diajak menuju jalan Allah dengan berdebat adalah kelompok tersendiri pula. Mereka berbeda-beda dalam nurani dan akal budi. 

Menurut al-Ghazali, bila hikmah diberikan kepada ahli mauizhah justru membuat mudharat bagi mereka, persis seperti bayi yang masih menyusu diberikan daging burung. Juga, perdebatan jika digunakan pada ahli hikmah niscaya mereka akan merasa jijik, seperti jijiknya orang dewasa bila disuruh menyusu kepada ibunya. Namun al-Ghazali mengingatkan pula bahwa perdebatan dengan ahli debat bila tak dilakuan dengan cara baik (berpedoman pada Alquran) ia menjadi ibarat memberi makan roti gandunm pada orang dusun yang terbiasa makan korma. 

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Debat Dalam Dakwah"

Post a Comment