BELAJAR MENGAJI

Ngaji Kerupuk 

Hafalan Gun-gun memburuk. Kang Sesep yang sengaja memilih menjadi makmum sering meluruskannya.

"...tsumma radadna asfala saafiliin. Illalladziina aamanuu wa'amilushaalihaati wa tashaubilhaqq...," bacaannya terpangkas.

Falahum ajrun ghairu mamnuun...," kadang kang Sesep tidak habis pikir, sejak kapan At-Tiin berpindah ke lain hati, 

Begitu dikoreksi, tak urung kedua telinganya memerah. Rambatan hangat tak pelak menjalar di pipi. Jengah.

"Kunaon, A?" jika sudah menyapa dengan sebutan Aa, selanjutnya dapat dipastikan berjejer pembicaraan serius. Dari sekian jamaah yang telah meninggalkan mesjid, tinggal mereka berdua yang masih menghuni.

Gun-gun yang tengah merapikan sound system membisu. Sengaja ia menyibukkan diri dengan melipat sajadah, menata Al-Quran yang berantakan untuk mengalihkan pembicaraan.

Sudah beberapa kali kang Sesep membiarkannya menjadi imam. "Jangan memberikan dalih tentang kapan yang dahulu berislam, berapa banyak hafalannya, dan...," biasanya alasan terakhir sering menjadi tameng bagi Gun-gun, "siapa yang paling berumur." Begitu kiranya misalkan kang Sesep mempersilakan posisi corong itu padanya. Bagi Gun-gun, tidak menyahut; mengugurkan keinginan untuk membela diri.

"Iraha terakhir nonton tivi?"

"Empat hari yang lalu." 

Tiap hari, kotak elektronik itu memang sering ditontonnya. Namun acara-acara pilihan. Sementara pertanyaan kakak tingkatnya itu dengan maksud : berkisar acara hiburan. Sungguh, sinetron Opera SMU itu hanya riset untuk tugas akademiknya. Makalah rutin mingguan Manajemen Layanan Bimbingan dan Konseling menuntut film, atau yang sejenisnya, berbau Psikologi dan Bimbingan Konseling.

Gun-gun sungguh tenggelam dalam kesibukan merunut diri. Ia pilah segala kesiaan yang memungkinkannya terjerembab pada ancaman hafalannya.

Pernah Gun-gun terkantuk di juz satu, Al-Baqarah ayat 90-an. Dengan tangki percaya diri yang penuh terisi, dia coba mempraktekkannya.

Ayat-ayat awal fasih dilafalkan. Hingga peristiwa itu perdana membuka jalan pada kekacauan prosesi iman selanjutnya. Ketika ayat 96 berasa lain di bibir: "Qul innal mautalladzi tafirruuna minhu fainnahu mulaaqiikum tsumma turaduuna ilaa 'aalimil ghaibi wasysyahaadah fayunabbikum bimaa kuntum ta' maluun."

Sampai ayat kesasar itu keyakinan akan hafalan memudar. Gun-gun menghentikan bacaannya. Bukan disebabkan selaan makmum yang mengoreksi. Melainkan ia sangsi untuk melanjutkan ayat tersebut menuju Al-Jumu'ah ayat 9

Allahu akbar!" takbirnya kikuk. Mengajak rukuk. Bahkan ayat 96 Al-Baqarah yang sejati pun tersapu bersih di otak. 

Begitu rakaat terakhir dari Isya itu tuntas, segera Gun-gun meraih Al-Quran sakunya. Dua surat lintas juz itu diamatinya. Dibandingkan. Lalu serangkaian istighfar diuntainya penuh harap. Satu tambahan evaluasi mengantri sebelum beranjak berteman kematian kelak!

Kendati sempat Gun-gun menghindar memilih sebagai imam, dengan shalat qobla Subuh di kost-an misalnya, tetap; jamaah memang mengandalkan dua imam muda mesjid Al-Kautsar: kang Sesep dan dirinya.

Dengan berat Gun-gun beringsut maju. Itu pun lantaran didorong halus oleh seorang Abah yang sudah renta.

Diliriknya semua jamaah dengan sapuan memelas. Sering mata sayunya mendapati begitu: para pemuda memilih meringkuk di balik selimut, ketimbang melawan dinginnya kota Kembang!

Anak kecil ada satu-dua. Beruntung masih ada orang tua yang mebimbingnya shalat di mesjid. Betapapun butanya pagi itu. Kendati-tepatnya-dibujuk oleh aki dan nini mereka yang peduli masa depan generasinya tersebut.

Dari raut garis-garis keriput beban kehidupan yang praktis terekam manik beningnya, sekaligus keringkihan serta untuk beberapa emak menyelang dahakan seujar batuk; kesimpulannya menggiring Gun-gun untuk melantunkan juz 'amma, dengan pilihan koleksi surat yang bijaksana secara jumlah ayat.

"...wa idzal wuhusyu husyirat. Wa idzal bihaaru sujjirat," surat At-Takwir dilantunkan seksama. Walau akhirnya lidahnya keseleo juga dengan, "Wa idzal qubuuru bu'tsirat. 'Alimat nafsum maa qaddamat wa akhkharat. Yaa ayyuhal insaanu maa gharraka birobbikal kariim...," jika salah gerakan atau kurang rukun shalat, tiada tasbih sebagai teguran. Jika pun ia perempuan, tiada tepukan pengingat. Sedang pada salah pindah ayat ini, tiada koreksi terlontar.

Namun Gun-gun masih yakin bacaannya tepat. Kendati setelah shalat lantas disambung dengan dzikir dan doa, sebagian jamaah bisik-bisik. Hingga, "Bagaimanapun, Gun, At-Takwir masih 29 ayat." Sindir kang Sesep lembut. Beliau masbuq.


Dalam beberapa jenak Gun-gun belum menangkap maksud yang kang Sesep arahkan. Dahinya sengaja mengernyitkan diri. Ekspresi memeras otak tersaji segar di wajahnya.

"'Wa idzal bihaaru sujjirat' dan 'Wa idzal bihaaru fujjirat' beda surat, lho...." meraba umpannya belum terjamah otak kiri Gun-gun, kang Sesep mencairkan tanda sayangnya dengan redaksi lain. Gun-gun pun mengakui jika kritik yang baru mengena ini cair dengan kata "Lho"-nya. Yang, sungguh, jarang digunakan kang Sesep kalau memang tidak sesuai dengan kebutuhan.

"Atau, barangkali Gun-gun salah makan?" tawaran evaluasi diri kedua diajukan kang Sesep. Gelagapan Gun-gun kembali turun ke dunia nyata. Awang-awang liarnya mengapung.

Untuk bab yang satu ini memang belum terpikirkan. Kendati dalam taraf perbaikan ingatan, konsumsi kedelai sudah terwakili dalam tempe dan tahu goreng sarapannya. Saat dalam mata kuliah Psikologi Pendidikan bab Memori, dianjurkan karena kandungan Isoflavones-nya bertindak sebagai reseptor estrogen dalam otak. Begitu pun dengan tumis kangkung makan siangnya di warteg. Disebabkan zat besinya dipercaya berperan penting merubah sinyal dalam otak. Bahkan hingga mengunyah permen karet tiap mata kuliah berganti. Dikarenakan diyakini meningkatkan aktivitas hippocampus. Juga meningkatkan detak jantung sehingga memperbaiki oksigen yang dikirim ke otak dan meingkatkan kekuatan kognitif.
"Bukankah karena makanan menjadi haram tidak hanya lantaran zatnya? Dapat karena sebabnya kan?"
Saat seketika telepon selularnya menyalak lantang. Kilat Gun-gun merogoh saku baggy-nya.
"Gun, aya barang abi kakantun di kost-anmu. Waktu nyimpang ka Purwadadi, abi meser kerupuk warna-warni. Masih aya, teu?"
Gun-gun mengejang mencerna maksud telepon teman sekampungnya itu. Sampai ketercenungannya memaksa penelepon membuyarkan sesalnya, "Gun, kamu masih di tempat?"

Keterangan:

Kunaon : ada apa; Aa : kakak laki-laki; Iraha : kapan; Abah : lelaki setengah baya/bapak; Aki : kakek; Nini : nenek; Aya : ada; Abi (asal kata: Abdi) : saya; Kakantun : tertinggal; Meser : membeli; Nyimpang : singgah; Teu (asal kata: Henteu) : tidak; Hippocampus : area penting untuk memori.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "BELAJAR MENGAJI"

Post a Comment