Musik dan Nyanyian Menurut Fatwa AL-Qardhawi Dan AL-Albani

MUSIK DAN NYANYIAN

Studi Atas Fatwa AL-Qardhawi Dan AL-Albani



Puji syukur kehadirat Allah Swt. Tuhan Pencipta seni, yang telah menciptakan manusia sebagai salah satu dari masterpiecesnya dengan sebaik-baik rupa, dengan fase-fase yang berirama. Bukan itu saja, sesungguhnya Allah Swt. menciptakan manusia dengan memberikannya insting dan tabiat yang cenderung kepada apa saja yang dianggapnya baik dan indah, seperti pemandangan yang hijau dan suara gemericik air sungai yang mengalir di sampingnya, lantas dengan itu dia menjadi tenang dan mungkin memberikan semangat untuk lebih giat beraktifitas. Insting dan tabiat ini adalah fitrah manusia yang dianugrahkan Allah Swt. dan seterusnya menjadi perasaan cinta kepada kenikmatan dunia dan perhiasannya.

Kesenian -dengan segala jenisnya- tak pernah lepas dari agama islam, kesusasteraan salah satunya. Islam dalam perkembangan dakwahnya sangat dipengaruhi oleh kalimat-kalimat yang indah dan baik serta baliighah sehingga bisa dicerna oleh al-mad’uwwun dengan baik. Maka dari itu, Al-Quran sebagai mukjizat terbesar bagi Nabi Muhammad Saw. bisa membuka hati mereka (baca: orang-orang kafir) untuk menerima kebenaran agama yang dibawanya, tak lain dan tak bukan adalah karena keindahan susunan bahasa dan penyampaian Al-Quran tersebut. Allah Swt. telah menjelaskan hal itu dalam Al-Quran:

“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan izin Tuhannya, Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.” (QS. Ibrahim [14] : 24-25)

Sejak jatuhnya politik dan peradaban islam yang terjadi pada abad XIX Masehi, Barat telah menguasai dan mempengaruhi umat Islam. Melalui pola dominasi Barat di kalangan umat Islam tersebut, maka tidak mengherankan bila pengaruh sosial dan budaya Barat mulai menyusup ke tengah-tengah kaum muslimin, terutama masyarakat islam yang dijajah secara langsung oleh negara-negara adikuasa. Selanjutnya, sekulerisme tumbuh dan berkembang di kalangan kaum Muslimin. Agama tidak lagi sejalan dengan budaya dan adat istiadat bangsa. Pertumbuhan ini terjadi melalui akulturasi kebudayaan Barat dengan kebudayaan Islam. Negara-negara penjajah memang telah berhasil diusir kaum Muslimin dengan gemilang namun kebudayaan dan peradabannya mereka tinggalkan, sehingga proses sekulerisme pun berlanjut di kalangan umat Islam bahkan sampai sekarang. Salah satu dampak negatif dari proses sekulerisme ini adalah pergeseran nilai-nilai budaya islami, yaitu menjauhnya kaum Muslimin dari konsepsi masyarakat Islam yang dulu berdasarkan akidah, ide-ide, jiwa dan peraturan Islam. Tersebarnya tempat-tempat hiburan yang dikatakan ‘panggung seni’ dengan segala ‘aktifitas barat’ di dalamnya dan media-media yang begitu bebas, menyerbu dan mempengaruhi kehidupan anak-anak mudanya. Mereka bernyanyi dan berjoget ria tanpa mempedulikan lagi hukum halal atau haram, dan bayak juga di antara mereka yang berpikir bahwa hidup itu hanya untuk bersenang-senang.

Lantas, masalah kesenian ini menimbulkan pertanyaan dari kaum Muslimin dewasa ini, bagaimana hukumnya? Di samping itu dalam praktik kehidupan sehari-hari, sadar atau tidak, mereka juga telah terlibat dengan masalah seni.

Cabang seni yang paling dipermasalahkan adalah nyanyian, musik dan tarian. Ketiga bidang itu telah menjadi bagian yang penting dalam kehidupan modern sekarang ini karena semua cabang seni ini dirasakan langsung telah merusak akhlak dan nilai-nilai keislaman. Namun dalam makalah ini penulis hanya akan memaparkan pembahasan dan studi atas fatwa musik dan nyanyian, antara yang menghalalkan dan mengharamkan, lebih khusus lagi al-Qardhawi dan al-Albani.

Definisi Seni

Sebelum menelisik lebih jauh lagi fatwa al-Qardhawi dan al-Albani ada baiknya kita mengetahui definisi seni terlebih dahulu. Di sana terdapat banyak sekali pengertian seni, namun penulis hanya mencantumkan sebagiannya saja.

Dr. Muhammad Abu al-Wafa mengartikan seni sebagai ‘sebuah ekspresi yang bertujuan untuk menyatukan emosi atau perasaan seniman dengan kehidupan dan alam, sebuah ekspresi yang terpancar dari konsepsi dan visualisasi islami kepada Sang Khalik Yang Agung dan makhluk-makhlukNya.’ Selanjutnya beliau menambahkan, bahwa kesenian islam selain mempunyai tujuan yang jelas, juga harus bisa memberikan manfaat pada suatu waktu, tidak puas hanya dengan indahnya perkataan dan bentuk –karena setiap perkataan dan pebuatan seorang muslim harus jauh dari kesia-siaan-.

Dengan redaksi yang berbeda, Dr. Barakat Muhammad Murad mengartikan Seni dalam Islam sebagai ‘penggerak nalar agar bisa menjangkau lebih jauh tentang apa yang berada di balik materi. Keindahan adalah salah satu sebab tumbuh dan kokohnya keimanan, sehingga keindahan itu menjadi sarana mencapai kebahagiaan dalam kehidupan.’

Dua definisi di atas redaksinya berbeda tapi mengacu kepada makna seni yang shahih, yaitu seni yang bisa mempertemukan secara sempurna antara keindahan dan Al-Haq, karena keindahan adalah hakikat dari ciptaan ini, dan Al-Haq adalah puncak dari segala keindahan ini. Oleh karena itu Islam membolehkan penganutnya untuk menikmati keindahan, karena hal itu adalah wasilah untuk melunakkan hati dan perasaan. Sebaliknya Islam melarang penganutnya menikmati dan mengekspresikan tindakan-tindakan yang telah dilarang, karena hal itu malah akan mencampakkan para pelakunya kepada hal-hal yang merugikan diri mereka sendiri.

Dua pengertian seni di atas adalah pengertian seni dilihat dari kaca mata Islam, dan berbeda jauh dengan pengertian masyarakat dunia terhadap seni. Dalam Ensiklopedi Indonesia disebutkan bahwa seni adalah ‘penjelmaan rasa indah yang terkandung dalam jiwa manusia, dilahirkan dengan perantaraan alat komunikasi ke dalam bentuk yang dapat ditangkap oleh indera pendengar (seni suara), penglihatan (seni lukis), atau dilahirkan dengan perantaraan gerak (seni tari, drama).’

Islam dan Seni

1. Fitrah Manusia Cenderung Kepada Keindahan

Seperti yang telah penulis kemukakan pada pendahuluan di atas, bahwa manusia telah diberikan ‘semacam’ watak dan tabiat yang muyulnya kepada sesuatu atau hal-hal yang indah. Ini adalah firah manusia yang telah dianugerahkan oleh Allah Swt. kepada manusia.

Islam berinteraksi dengan manusia secara total, jiwa dan raganya, akal dan nuraninya. Ada ungkapan menarik yang penulis dapatkan dari sebuah blog, yaitu ‘jika nutrisi menghidupi badan, pengetahuan menghidupi akalnya, maka seni (al-fann) yang menghidupi nuraninya.’ Ungkapan ini sangat sesuai dengan apa yang terkandung dalam pernyataan al-Imam al-Akbar Mahmud Syaltut, bahwa seorang manusia dengan wataknya -yang selalu cenderung dengan keindahan- akan mendapatkan ‘kesan baik’ dari objek-objek keindahan yang dia lihat, dengar dan rasakan, bagi dirinya sendiri. Dia akan menyatukan energi-energi dari objek-objek keindahan ini dengan perasaan dan emosinya untuk menghidupkan jiwa dan nuraninya, yang akhirnya ‘tertunduk’ dan mengakui kehebatan Sang Pencipta, dengan itu dia akan merasakan ketenangan jiwanya, kesejukan hatinya.

Selain Allah Swt. ‘menitipkan’ tabiat, watak dan perasaan itu kepada manusia, bisa saja kita katakan seorang muslim menyukai keindahan adalah dikarenakan efek dari keindahan Sang Pencinpta Allah Swt. sendiri, yang juga menyukai keindahan. Syeikh Yusuf Qardhawi telah menjelaskan sikap islam terhadap seni dalam bukunya al-Islam wa al-Fann hal 11-25, “jika ruh seni adalah perasaan terhadap keindahan, maka Al-Qur’an sendiri telah menyebutkannya.” Allah Swt berfirman, “…(Dialah) yang membaikkan setiap sesuatu yang Dia ciptakan…” (QS. As-Sajadah [32] : 7)

Kecintaan terhadap keindahan bisa mengitsbatkan keimanan dan menguatkannya, karena yakin bahwa keindahan adalah hakikat dari ciptaan Allah Swt., dan Dialah Yang Maha Indah, puncak dari segala keindahan yang ada. Rasulullah Saw. juga telah menjelaskan kepada beberapa sahabat yang mengira bahwa kecintaan terhadap keindahan bisa menafikan iman, dan menjadikan pelakunya terperosok dalam kesombongan, sebagaimana diceritakan dalam sebuah hadits, “Rasulullah bersabda: tidak akan masuk surga siapa yang di hatinya ada rasa sombong, walau sebejar biji sawi. Lalu berkatalah seorang lelaki: sesungguhnya ada seorang lelaki menyukai agar baju dan sandalnya menjadi bagus. Rasul bersabda: Sesungguhnya Allah Maha Indah dan menyukai keindahan.” (HR. Muslim)

Dengan demikian, tidak ada larangan dalam Islam bagi umatnya untuk mengekspresikan keindahan yang ada dalam benak mereka, karena Islam menyeru umatnya untuk bisa merasakan, menikmati dan mentadabburi keindahan tersebut. Selanjutnya –bukan kebebasan mengekspresikan keindahan saja-, sudah tentu islam mengarahkan umatnya agar kreativitas mereka bermanfaat bagi diri mereka sendiri atau orang lain. Ini yang disebutkan oleh Syeikh Mahmud Syaltut dengan “as-syari’ah tunazzhimu al-gharizah.” Beliau menyatakan bahwa manusia dengan segala aktifitasnya akan menghadapi ‘al-musytahiat’, maka hendaklah dia menikmatinya sekedar atau seperlunya saja, dan bermanfaat baginya. Dari situ, jelaslah bahwa syariat Islam tidak ingin manusia berlarut-larut dan terlena dalam menikmati keindahan hingga melupakan kewajiban-kewajibannya, dan merusakkan akhlaknya.

2. Praktik Seni Dalam Sejarah Islam

Jika ada anggapan atau pernyataan bahwa dengan Islam seni tidak berkembang, maka boleh dikatakan ini adalah anggapan dan pernyataan yang salah, berasal dari orang-orang yang tak mengerti (juhalaa’) tentang Islam. Agama Islam tidak bisa dipisahkan dari kebudayaan dan peradaban, juga dari kehidupan dunia. Islam tidak hanya mengurusi kehidupan akhirat, lebih dari itu, Islam jalan berbarengan dengan kehidupan dunia dengan segala sendi-sendinya. Barangkali mereka lupa –atau juga tidak tahu- bahwa khazanah seni Islam –kesusastraan, seni rupa, arsitektur, seni musik dan lain-lain serta ragam estetikanya- sedemikian kaya.

Pada seni kesusastraan, kita dapati -di masa lalu- para sahabat menafsirkan al-qur’an dengan syair-syair. Juga para fuqaha’ dan para imam, banyak yang mahir menciptakan syair dan mahir dalam bersyair, di antaranya Imam Syafi’i.

Pada seni suara, musik dan tarian, kita dapati bahwa orang arab sangat berbakat musik, sehingga seni suara telah menjadi suatu keharusan bagi mereka sejak zaman jahiliyah. Tidak hanya berbakat, kebudayaan Islam melalui seni musik telah mencapai kesempurnaan, dan hal itu memang diakui oleh Barat. Orientalis seperti Henry Farmer [1882 – 1962 M] adalah salah seorang yang mengakui hal tersebut. Dalam sebuah makalah yang berjudul “al-musiiqii” dan diterbitkan dengan buku “Turaats al-Islaam” Farmer mengatakan, “…Arab dengan alat-alat musik ciptaan mereka telah sampai kepada martabat ‘seni yang indah’, dan mereka telah menulis cara-cara pembuatannya di dalam beberapa buku dan risalah… Dan kita mempunyai banyak dalil bahwa Arab juga pencipta alat-alat musik sekaligus membaguskannya…”

Begitu pun, sejak dulu kesenian (seni kesusastraan, seni musik dan tarian) ini juga mengalami pergeseran nilai, dari seni yang hakiki. Syair-syair ‘nyeleneh’ yang bertentangan dengan akidah banyak ditemukan, seperti syairnya Ahmad Syauqi dengan judul “Dimasyq”:

“..Aku beriman kepada Allah, dan tidak kepada surgaNya..

..Dimasyq adalah jiwa, surga dan wewangian…”

Ahmad Syauqi pada syair di atas telah memfitnah dirinya sendiri juga agama demi sebuah keindahan yang tidak hakiki. Padahal, setiap muslim yang mengimani Allah Swt. sebagai Tuhannya, rela dengan Islam sebagai agamanya, dan Muhammad Saw. sebagai nabi dan rasulnya, juga wajib mengimani dan percaya bahwa surga dan nerakaNya memang dan benar-benar ada. Hal inilah yang ditegaskan Allah Swt. dalam firmanNya, “…Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat. Tidakkah kamu melihat bahwasanya mereka mengembara di tiap-tiap lembah? Dan mereka suka mengatakan apa yang tidak mereka lakukan? Kecuali orang-orang (penyair-penyair) yang beriman dan beramal saleh, dan banyak berzikir menyebut Allah…” (QS. As-Syu’araa’ [26] : 224-227)

Sementara seni musik, nyanyian yang diiringi musik dulunya sering digunakan untuk memanggil jin atau roh halus sebagaimana dilakukan oleh ahli-ahli sihir Arab jahiliyah atau dukun-dukun Yahudi yang disebut dengan kahin. Misalnya seperti dilakukan orang-orang Arab Utara sebelum datangnya Islam, dalam upacara mengelilingi batu suci (nushb) yang dimeriahkan dengan nyanyian keagamaan yang disebut nashb (Farmer 1988). Ada juga tradisi yang berkaitan dengan penggunaan musik dan nyanyian dalam upacara pemanggilan jin dan kekuatan gaib, dan itu kita dapati dalam kitab ‘Iqd al-Farid (abad ke 10 M). Di situ dikisahkan juga bagaimana Nabi Daud As. memainkan mi’zaf, alat musik sejenis harpa, untuk menyaingi kemahiran dukun-dukun Yahudi dalam memanggil setan melalui musik dan nyanyian.

Setelah Islam datang kepada bangsa Arab, bakat musik orang-orang Arab berkembang dengan mendapat jiwa dan semangat baru. Begitu juga pada masa Rasulullah, ketika hijaz menjadi pusat politik, perkembangan musik tidak menjadi berkurang.

Ketika wilayah Islam meluas, kaum muslimin berbaur dengan berbagai bangsa seperti Persia dan Romawi, dengan beragam kebudayaan dan keseniannya. Terbukti pada masa itu muncul seorang ahli musik dari kaum muslimin yang bernama Ibnu Misjah [705 M]. Setelah itu banyak dari kaum muslimin yang mempelajari buku-buku musik yang diterjemahkan dari bahasa Yunani dan India. Mereka mengarang kitab-kitab musik baru dengan mengadakan penambahan, pembaharuan, dan penyempurnaan. Dari situ kemudian bermunculan pengarang-pengarang teori musik Islam yang terkenal, di antaranya Yunus Bin Sulaiman al-Khatib [785 M]; pengarang musik pertama dalam Islam. Tidak hanya sampai pada masa Daulah Umayyah, perkembangan seni musik Islam sampai kepada Daulah Abbasiyyah, dengan pendirian beberapa madrasah dan sekolah musik.

3. Praktik Seni Musik Di Dalam Nas

Jika kita menyelami kitab-kitab hadis yang ada, maka kita akan menemukan hadis-hadis yang membolehkan seseorang untuk menyanyi, menari dan memainkan alat musik. Tetapi kebolehan itu hanya ada pada acara pesta-pesta perkawinan, khitanan, menyambut tamu yang baru datang, atau memuji-muji orang yang mati syahid dalam peperangan, atau menyambut kedatangan hari raya dan sejenisnya. Dengan kata lain, Islam telah mengatur dan memberikan batasan bagi pemeluknya, agar bisa berkreativitas namun tidak keluar dari jalur yang ada, yaitu Islam. Membaca syair tidak mesti sambil minum bir, bermain musik atau bernyanyi tidak mesti setelah ‘ngedrug’, dan tidak mesti dilakukan setiap waktu, karena ada pekerjaan dan kewajiban lain yang lebih utama. Sehingga dengan begitu, umat Islam tidak lupa dengan puncak dari segala keindahan yang ada, yaitu Al-Haqq Subhaanahu wa Ta’aalaa.

Salah satu hadis yang menceritakan praktik orang Islam bermain musik adalah sebuah hadis riwayat Bukhari dan Muslim (Lihat Shahih Bukhari, hadis no. 949, 950; Shahih Muslim, hadis no. 829), dari ‘Aisyah Ra., beliau berkata: “Pada suatu hari Rasulullah masuk ke tempatku, di sampingku ada dua gadis perempuan budak yang sedang melantunkan nyanyian (Di dalam riwayat Muslim ditambah dengan menggunakan rebana) -tentang hari- Bu’ats (adalah nama salah satu benteng untuk al-aus yang jaraknya kira-kira dua hari perjalanan dari Madinah. Di sana pernah terjadi perang dahsyat antara kabilah Aus dan Khazraj tepat 3 tahun sebelum hijrah). –Kulihat- Rasulullah Saw. berbaring tetapi dengan memalingkan mukanya. Pada saat itulah Abu Bakar masuk dan ia marah kepada saya. Katanya: “di tempat Nabi ada seruling setan?” Mendengar seruan itu, Nabi lalu menghadapkan mukanya kepada Abu Bakar seraya bersabda: “Biarkanlah keduanya, hai Abu Bakar!” Tatkala Abu Bakar tidak memperhatikan lagi, maka saya suruh kedua budak perempuan itu keluar. Waktu itu adalah hari raya di mana orang-orang sudan sedang (menari dengan) memainkan alat-alat penangkis dan senjata perangnya (di dalam Masjid)…”

Masih ada beberapa hadis lagi yang mengisahkan tentang adanya praktik seni –khususnya seni musik- di dalam Islam. Penulis tidak ingin berpanjang-lebar, karena masih ada pembahasan yang lebih menarik setelah ini. Namun ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan, kehidupan masyarakat Islam di masa Rasulullah Saw. ditandai oleh dua karakteristik, yaitu sederhana, dan banyak berbuat untuk jihad fi sabilillah. Membela Islam dan memperluasnya membutuhkan seluruh pemikiran dan usaha, sehingga tidak ada waktu lagi untuk bersenang-senang menciptakan bentuk-bentuk keindahan apalagi menikmatinya.

Tinjauan Fikih Islam

Masalah musik dan nyanyian sebenarnya bukanlah masalah baru. Sejak dahulu para ahli fikih Islam sudah berdebat tentang hukum nyanyian dan musik tersebut. Hal ini memang cukup pelik, disebabkan beberapa hadis yang mengharamkan nyanyian dan musik lebih kurang sama banyaknya dengan hadis yang membolehkan musik dan nyanyian itu.

Para ulama yang membolehkan nyanyian dan musik beranggapan bahwa sebagian besar dalil-dalil yang berisi larangan terhadap musik dan nyanyian adalah kurang sahih, sebaliknya para ulama yang mengharamkan nyanyian dan musik berpendapat bahwa pentakwilan dan penafsiran kepada kehalalan dari hadis-hadis yang berisi larangan adalah takwil yang batil. Kalaupun halal, maka kehalalan tersebut kedudukannya adalah ‘muqayyad’ bukan ‘muthlaaq’, ditaqyidkan dengan sebab berhari raya –seperti tercantum dalam hadis di atas- atau acara pernikahan, dan hanya dibolehkan dengan ‘ad-daff’ tidak yang lain.

Walaupun masalah ini cukup rumit, ada beberapa titik temu antara dua mazhab; yang menghalalkan atau membolehkan dan yang mengharamkan, yaitu:

1. Mereka sepakat tentang bolehnya nyanyian diiringi dengan alat musik ‘daff’ (rebana) saja pada waktu-waktu tertentu, seperti hari raya dan resepsi pernikahan,

2. Mereka sepakat tentang bolehnya nyanyian tanpa iringan alat musik dengan syair-syair yang berisi kalimat-kalimat yang baik, juga pada waktu-waktu tertentu, seperti zikir mengingat kematian dan lainnya.

Selain dua poin di atas, para ulama berbeda pendapat mengenai hukumnya, berdasarkan dalil-dalil dan penafsiran atau pentakwilan yang berbeda-beda, dengan kaidah yang berbeda-beda pula.

1. Fatwa Syeikh Nashiruddin al-Albani

Syeikh Albani dalam bukunya Mukhtashar Tahriim Aalat at-Tharab berpendapat bahwa nyanyian dengan iringan berbagai alat musik adalah haram, dan menggunakan semua alat musik adalah haram, kecuali nyanyian dan rebana yang digunakan untuk mengiringi nyanyian itu pada hari raya dan pesta pernikahan, berdasarkan hadis: “…perbedaan antara halal dan haramnya (musik) adalah (dengan) ad-daff…”

Ada beberapa hadis yang beliau gunakan sebagai hujjahnya dalam pengharaman semua alat musik dan menggunakannya, di antaranya hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari, dari Abi ‘Amir -atau Abi Malik al-Asy’ari-, Rasulullah Saw. bersabda: “Sungguh akan ada di kalangan umatku suatu kaum yang yang menganggap halalnya zina, sutera, khamr dan alat-alat musik…” (HR. Bukhari 10/51/5590-Fath), kemudian hadis yang juga diriwayatkan oleh Bukhari, dari Abi Malik al-Asy’ari, dari Rasulullah Saw., beliau bersabda: “Sesungguhnya akan ada sebagian manusia dari umatku meminum khamr yang mereka namakan dengan nama-nama lain, kepala mereka bergoyang-goyang karena alat-alat musik dan penyanyi-penyanyi wanita, maka Allah benamkan mereka ke dalam perut bumi dan menjadikan sebagian mereka kera dan babi…” (HR. Bukhari 1/1/305-Tarikh).

Hadis-hadis ini –dan yang lain berisi larangan terhadap musik- kemudian ditolak oleh Imam Ibnu Hazm az-Zahiri, karena kedudukan hadis-hadis ini tidak sahih dan perawinya diragukan. Beliau mengatakan: “…Maka apabila dalil ini tidak sahih menurut asalnya, Allah berfirman (Dan sesungguhnya dia telah menjelaskan dengan terperinci apa yang diharamkan atas kamu), maka jelaslah bahwa segala yang diharamkan oleh Allah Swt. sudah dijelaskan dengan terperinci, dan apa yang tidak jelas keharamannya adalah halal…”

Ini kemudian dijawab oleh Syeikh Nashiruddin Albani dengan dua jawaban; pertama, beliau mengatakan kalaupun isnaad hadis-hadis yang mengharamkan nyanyian itu ma’luul atau lemah dari segi kesinambungan perawinya, namun telah disepakati bahwa apa yang terkandung dalam matan hadis-hadis tersebut -yaitu haramnya musik- berasal dari Rasulullah Saw. Kaidah yang disepakati oleh para ahli hadis dan ulama mengatakan:

“Jika hadis-hadis yang dha’if atau lemah datang pada satu masalah yang sama, maka hadis-hadis itu saling menguatkan satu sama lain…”

Kedua, sesungguhnya hadis-hadis yang berisi larangan terhadap musik dan nyanyian yang diiringi alat musik tersebut tidak semuanya dhaif sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ibnu Hazm. Sebahagian dari hadis-hadis itu adalah sahih di kalangan ulama, dan perawinya muttashil. Dua hadis di atas adalah di antara hadis-hadis sahih itu yang telah ditakhrijkan oleh beliau.

Selanjutnya beliau berpendapat bahwa nyanyian tanpa diiringi alat musik adalah halal, namun tidak mutlak. Nyanyian dibolehkan dengan syair-syair yang baik, tidak mengandung kata-kata keji dan kotor, berdasarkan sabda Rasulullah Saw.: “…Sesungguhnya sebagian syair itu adalah hikmah…”, dan jawaban Rasulullah ketika ditanya tentang syair: “…Dia (hanyalah) perkataan, baiknya adalah baik, buruknya adalah buruk…”

2. Fatwa Syeikh Yusuf al-Qardhawi

Syeikh Yusuf Qardhawi lebih cenderung untuk berpendapat bahwa nyanyian adalah boleh secara mutlak, dengan atau tanpa alat musik, karena asal segala sesuatu adalah halal selama tidak ada nas sahih yang mengharamkannya. Kalaupun ada, adakalanya dalil itu shariih (jelas) tetapi tidak sahih, atau sebaliknya sahih tetapi tidak shariih.

Dalil-dalil yang membolehkan sama banyaknya dengan dalil-dalil yang mengharamkan nyanyian dan musik. Di antara dalil-dalil yang digunakan syeikh Qardhawi dan mazhab yang membolehkan musik, yaitu hadis ‘dua gadis perempuan budak’ yang diriwayatkan oleh Bukhari di atas. Sebahagian mereka –yang mengharamkan nyanyian- menyangka dua budak perempuan di atas adalah dua gadis kecil. Kemudian dijawab, bahwa perkataan Abu Bakar Ra. yang berbunyi: “di rumah Nabi ada seruling setan” adalah dalil yang menunjukkan bahwa kedua budak tersebut bukanlah gadis kecil, melainkan gadis dewasa. Seandainya mereka memang dua gadis kecil, tak pantas kemarahan Abu Bakar sampai sedemikian rupa. Hadis lain yang digunakan sebagi hujjah adalah hadis riwayat Bukhari dan Ahmad, dari ‘Aisyah Ra., beliau pernah menikahkan seorang wanita kepada pemuda Anshar. Kemudian Rasulullah Saw bersabda: “Mengapa tidak kalian adakan permainan karena orang Anshar itu suka pada permainan…”

3. Studi Dalil Dan Mahallu al-Khilaaf

Dari dalil-dalil yang ada, di sana terdapat beberapa poin penting yang menjadi perdebatan ulama dan perlu kita perhatikan, di antaranya:

1. Mereka berbeda pendapat mengenai kata “istihlaal” yang ada di dalam hadis. Syeikh Albani mengatakan di situ dilaalahnya sangat jelas, bahwa empat perkara yang disebutkan di dalam hadis tidak halal secara syar’i. Karena ‘istahalla as-syai’ maknanya menganggap sesuatu itu menjadi halal. Kembali kepada hadis, mereka menganggap zina, sutera, khamr, dan alat musik adalah halal, padahal jelas keharamannya. Sementara Syeikh Qardhawi merujuk kepada Ibn al-‘Arabi dalam mengartikan kata “istihlaal” tersebut. Ada dua makna; pertama, menganggap hal itu menjadi halal; kedua, merupakan majaz dari istirsaal, karena jika yang dimaksud dengan istihlaal adalah makna hakiki, maka orang yang melakukan empat perkara itu digolongkan kafir, dan jika dilaalahnya menunjukkan keharaman, maka menghendaki keharaman secara keseluruhan, bukan salah satunya.

2. Mereka berbeda pendapat mengenai kata “lahw al-hadiits” yang terdapat dalam Al-Qur’an pada Surat Luqman. Mazhab yang mengharamkan nyanyian manfsirkan itu sebagai nyanyian. Ibnu Hazm dalam kitabnya Al-Muhalla mengatakan ayat tersebut tidak bisa digunakan sebagai hujjah berdasarkan beberapa aspek; pertama, tidak ada hujjah bagi seseorang selain Rasulullah Saw.; kedua, pendapat ini telah ditentang oleh sebahagian sahabat dan tabi’in; ketiga, nas ayat ini justru membatalkan argumentasi mereka, karena di dalamnya menerangkan kualifikasi tertentu. Allah berfirman, “…Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah…” Apabila perilaku seseorang seperti tersebut dalam ayat ini, maka ia dikualifikasikan kafir tanpa diperdebatkan lagi. Jika ada orang yang memperjual-belikan mushaf untuk menyesatkan manusia, maka jelas-jelas dia adalah kafir, dan perilaku inilah yang dicela oleh Allah Swt. Tetapi Allah sama sekali tidak pernah mencela orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk hiburan dan menyenangkan hatinya.

Penutup

Khazanah kesenian Islam sangat kaya. Hal itu wajar karena Fitrah manusia yang cenderung kepada keindahan. Adanya at-tawasuth penulis anggap menjadi ‘benteng’ bagi kita dalam mengkonsumsi kesenian ini, agar tidak lari dari jalur Islam, selain bersandar kepada kaidah “al-jam’u baina al-adillah”. Walaupun Albani mengharamkan nyanyian dengan segala bentuk alat musik, namun dia mengecualikan nyanyian dengan rebana di hari raya. Walaupun Qardhawi membolehkan nyanyian, namun beliau tetap saja memberikan syarat-syarat dan batasan-batasan yang perlu diperhatikan dalam mengkonsumsi seni musik ini, karena tidak semua nyanyian dan musik itu halal.

Makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan, saran dan kritik membangun sangat penulis terima. Wallaahu a’laa wa a’lam…

Disampaikan dalam kajian Depeartemen Intelektual HMM (Himpunan Mahasiswa Medan), Kairo.




Lihat Juga Artikel lain dengan meng KLIK di bawah ini :

Subscribe to receive free email updates: