Green Politic

GREEN POLITICS
Matthew Paterson
Dalam pluralisme hukum, fenomena `politik hijau` dunia menarik untuk dilihat. Dapat diamati melalui pengelolaan hutan misalnya, tampak jelas betapa hutan Indonesia harus menjadi ‘ruang keselamatan’ bagi global. Artinya, hutan di Indonesia tidak hanya berfungsi bagi masyarakat Indonesia (baik secara ekonomis, ekologis, dan sosial-budaya), namun juga berfungsi terhadap masyarakat lain di dunia. Kehancuran hutan di Indonesia, menjadi contoh amat menarik betapa ‘ruang keselamatan’ dari hutan Indonesia sudah menjadi sangat krusial, strategis bahkan tidak bisa tidak untuk diselamatkan.
Kontribusi Indonesia dalam menjaga hutan, kemudian turut dipertanyakan seiring dengan tidak berhentinya ‘penghancuran’ hutan yang terus terjadi tersebut. Fenomena ini, menggambarkan betapa lokal, nasional, dan global, dalam konteks keberadaan hutan, sepertinya tidak bisa lagi dibatasi secara tegas. Kerusakan hutan di tingkat lokal misalnya, dengan bentuk dan alay ukur tertentu diyakini akan berpengaruh dalam kehidupan secara global. Begitu juga dengan kerusakan hutan nasional yang bisa jadi menimbulkan kecaman dari berbagai pihak secara global, karena dianggap dapat menghancurkan ‘keamanan’ global. Dalam hal pengelolaan hutan, menampakkan betapa konsep pluralisme hukum sedang terus bergerak. Dalam konteks pluralisme hukum dalam definisi mutakhir, menampakkan konsep global dan lokal saling bersanding untuk bisa menyelamatkan hutan – terlepas di dalamnya juga menampakkan kontradiksi-kontradiksi. Konsep pluralisme hukum yang dimaksud, menyangkut mobilitas individu dan masyarakat. Hukum dari berbagai level dan penjuru dunia bergerak memasuki wilayah-wilayah yang tanpa batas, dan terjadi persentuhan, interaksi, kontestasi, dan saling adopsi di antara hukum internasional. Terciptalah hukum transnasional akibat penyesuaian dan persentuhan, pemenuhan kepentingan kerja sama antar bangsa.
Fenomena global menampakkan salah satu wajahnya dalam hal eksistensi hutan di Indonesia. Seperti yang telah disebutkan, hutan di Indonesia yang masih tersisa, kita dipertaruhkan menyangkut dengan kepercayaan global di bidang ‘pembangunan hijau`. Dengan demikian keberadaan hutan sudah melintas di bidang ekologis. Kondisi hutan belakangan ini sangat memprihatinkan yang ditandai dengan meningkatnya laju degradasi hutan, kurang berkembangnya investasi di bidang kehutanan, rendahnya kemajuan pembangunan hutan tanaman, kurang terkendalinya illegal logging dan illegal trade, merosotnya perekonomian masyarakat di dalam dan sekitar hutan, meningkatnya luas kawasan hutan yang tidak terkelola secara baik sehingga perlu dilakukan upaya – upaya strategis dalam bentuk deregulasi dan debiokratisasi. Atas dasar kerusakan tersebut, beberapa pemerintah daerah kemudian berinisiatif membuat langkah nyata dalam pengelolaan hutan. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), menyebutkan bahwa laju kerusakan hutan sekarang ini mencapai angka 2,72 hektare pertahun (Serambi Indonesia, 28 April 2007). Data terakhir menyebutkan, dari 120 juta hektare luasan hutan Indonesia, lebih dari 101 juta hektare sudah berada dalam tahap kritis. Saat ini, hanya sekitar 19 juta hektare hutan yang masih virgin (Serambi Indonesia, 9 Juni 2007). Lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengurusi bidang pangan dunia (UN FAO) memperkirakan, Indonesia menghancurkan kira-kira 51 kilometer persegi hutan setiap harinya.
Pentingnya peranan Indonesia dalam hal emisi karbon dunia yang sebagian besar disebabkan oleh penghancuran hutan dan pengrusakan lahan. Gubernur Aceh sendiri menyatakan komitmennya untuk melaksanakan program pengurangan emisi gas rumah kaca akibat deforestasi dan mengembangkan ekonomi kehutanan yang berkesinambungan dengan memanfaatkan pasar karbon. Kerusakan hutan di Indonesia, dengan beberapa langkah nyata yang dilakukan Pemerintah Daerah, ternyata tidak berjalan lurus dengan kebijakan pada tingkat global. Kerusakan hutan, mengakibatkan pola penanganan yang tidak seimbang. Indonesia harus menjaga mati-matian hutannya yang akan bermanfaat bagi global, namun beberapa negara besar malah tidak mau mengikuti pola permainan global. Penolakan Amerika Serikat dan Australia dalam usaha nyata mengurangi emisi gas rumah kaca dan menjaga kesepakatan pasca-Protokol Kyoto tahun 2009, yang diperkirakan hingga 50 persen pada 2050. Amerika masih bertahan dengan pendapatnya bahwa penghasil polusi terbesar adalah berkembang.
Alasan Amerika Serikat, karena “terlalu tinggi biaya yang harus dikeluarkan Pemerintahnya yang dianggap akan merugikan ekonomi. Bush selalu mengatakan AS menjadi pemimpin terdepan dalam menghadapi pemanasan global. Namun tidak ada langkah konkret untuk merealisasikan pernyataan itu. AS berpredikat sebagai negara penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar di dunia. AS juga satu-satunya negara anggota G-8 yang belum meratifikasi Protokol Kyoto tahun 1997 karena negara-negara sedang berkembang, termasuk rival di bidang ekonomi, yaitu China, tidak tercantum di dalamnya”. Badan Penelaah Lingkungan Hidup Belanda menyatakan China untuk pertama tampil sebagai negara yang menyebabkan polusi terbesar pada tahun 2006 dan melampaui Amerika Serikat. Di pihak lain, kebijakan apapun yang dilahirkan ternyata tidak bisa dipisahkan dari kebijakan global. Fenomena yang disebutkan di atas, melahirkan sebuah masalah penting, tentang sejauhmana efektivitas penanganan laju kerusakan hutan di suatu negara, bila ada negara lain yang membutuhkan fungsi hutan namun tidak mau terlibat dalam langkah nyata.
Dengan demikian, sudah dua hal yang telah nyata sebagai penyebab laju kerusakan hutan di Indonesia, yakni Pertama, pihak yang memiliki hutan yang tidak mampu menjaga kerusakan, baik secara langsung maupun melalui kebijakannya. Kedua, negara-negara yang aka menggunakan fungsi hutan namun tidak mau mengambil kebijakan yang berpihak kepada usaha menyelamatan hutan.


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Green Politic"

Post a Comment